Suku Bati Sasi Adat, Dua Perusahaan Minyak Diusir

  • Bagikan
Suku Bati, SBT, Maluku
Warga suku Bati melakukan sasi terhsdap dua perusahaan yang masuk ke wilayah Bati, SBT.

Bula, AMEKS.FAJAR.CO.ID - Warga masyarakat adat Bati Kelusy dan Bati Tabalen, Kecamatan Kian Darat, Kabupaten Seram Bagian Timur (SBT) Maluku, melakukan protes terhadap PT Balam Energy dan PT BGP Indonesia.

Protes warga Bati, pada Selasa, (26/07) itu, ditandai dengan penanaman sasi secara adat oleh tokoh agama, kepala dusun, tokoh masyarakat dan tokoh pemuda di lokasi yang ditandai pihak perusahaan sebagai tempat penghasilan minyak dan gas tersebut.

Selain sasi, warga mendesak pihak perusahaan harus melakukan ganti rugi atas tanah yang sudah dilubangi alias dibor. Karena bagi warga Bati, pihak perusahaan sudah melakukan kejahatan melawan adat.

“Kita palang (sasi) ini, palang adat. Perusahaan harus bayar ganti rugi tanah yang sudah di lobang (dibor)," ucap Yunis Rumalean, Imam Masjid Bati Tabalen, didampingi para kepala dusun dan kuasa hukum, saat melakukan proses sasi.

Warga Bati Kelusy dan Bati Tabalen berharap, setalah penanaman sasi, pihak PT Balam Energy dan PT BGP Indonesia, segera angkat kaki dari tanah sakral Bati, dan tidak boleh melakukan aktivitas apapun di sana.

"Dan perusahaan angkat kaki dari sini, tidak boleh beroperasi di tanah Bati, sampai seterusnya. Karena perusahaan masuk ikut mau, tanpa ada persetujuan dari masyarakat Bati,"kata Yunis.

Kehadiran perusahaan yang beroperasi minyak dan gas itu tidak ada pemberitahuan apapun. Pedahal kata mereka, seharusnya sebelum masuk, melakukan pertemuan dan meminta izin dan persetujuan masyarakat Bati.

"Perusahaan masuk, masyarakat di Dusun Bati Kelusy tidak tahu. Kami, masyarakat di Dusun Bati ini tidak tahu. Perusahaan masuk ikut mau, tanpa ada persetujuan dari masyarakat Bati Kelusy yang punya hak. Harus masuk ada izin dari kita, minta persetujuan dari kita semua,” ucap salah satu warga Bati.

Warga menilai hal itu sudah menjadi pelanggaran adat dan pihak perusahaan harus ganti rugi. "Karena pelanggaran adat, maka perusahaan harus bayar denda satu lubang satu miliar rupiah," kata warga. (JU)

  • Bagikan