Gerakan Antihoaks dari Tempat Ibadah ke Ruang Publik

  • Bagikan
Rusda Leikawa
Koordinator Wilayah Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (MAFINDO) Maluku, Rusda Leikawa saat menyampaikan materi tentang hoaks dan cek fakta di Negeri Lima, Kecamatan Leihitu, Kabupaten Maluku Tengah, 2021 lalu. (Dok. MAFINDO Maluku untuk Ambon Ekspres)

Ambon, AMEKS.FAJAR.CO.ID - Enam remaja laki-laki dan perempuan berdiri menghadap ratusan orang di dalam Gereja Lazarus Kayu Putih, Kota Ambon. Sesekali melemparkan pandangan ke proyektor.

“Kami dari remaja Sektor Zaitun mempresentasikan buletin kami yang bertema Remaja Menakar Internet dan Sosial Media,” kata Angel Tuhehay (13) memulai kegiatan hari itu.

Angel dan lima temannya merupakan siswa Sekolah Minggu Tunas Pekabaran Injil (SMTPI), Sektor Zaitun Jemaat Gereja Protestan Maluku (GPM) Soya. Sebagai remaja, mereka menyimpan keprihatinan tentang penyalahgunaan media sosial untuk kepentingan politik dan provokasi berbau SARA (Suku, Agama, Ras, Antargolongan), dan hoaks.

Penerbitan buletin Tabaos Tuhan Paling Bae (Baik) merupakan salah satu aksi nyata yang mengikuti keprihatinan semacam itu. Setebal empat halaman, buletin ini membahas seputar pemanfaatan internet, tips dan trik menangkal hoaks, serta etika bermedia sosial yang baik dan benar.

Aksi bersama melawan hoaks bergulir dari ide Wellsy Harry Bakarbessy, salah satu pengasuh SMTPI Sektor Zaitun, sejak 2021. Langkah pertamanya tidak selalu mulus.

Masih banyak pro dan kontra di kalangan gereja tentang isu ini. Wellsy bersurat ke pihak Jemaat GPM Soya untuk mengumpulkan seluruh ranting untuk mengikuti pelatihan literasi digital, namun tidak ada tanggapan baik.

Semangat Wellsy tidak lantas surut. Pada November 2021 lalu, ia berbagi pengetahuan tentang literasi di Desa Negeri Lima, Kecamatan Leihitu, dan Desa Tulehu, Kecamatan Salahutu.

Kemudian Pada April 2022, Wellsy bersikeras membuat kegiatan serupa di SMTPI Sektor Zaitun. Namun lagi-lagi, ia mendapat penolakan secara halus dari banyak orang yang tidak setuju.

Sebuah sesi berbagi (sharing session), dengan menggandeng pegiat Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo) sebagai narasumber, akhirnya dapat terlaksana dengan melibatkan 30 orang perserta. Sesudah acara itu, banyak jemaat memintanya menyelenggarakan kegiatan yang sama.

Meskipun dimulai dari lingkup yang kecil, pelatihan ini berdampak. Para siswa SMTPI Sektor Zaitun kemudian mencetuskan ide membuat buletin dengan ulasan utama mengenai literasi digital sebagai bekal menangkal hoaks.

Banyaknya kabar bohong yang beredar dapat mempengaruhi cara anak-anak berpikir. Apalagi yang menyangkut politik dan SARA. Mereka ada dalam tahap belajar dan berhak atas informasi yang benar, tutur alumnus Fakultas Hukum Universitas Pattimura itu.

Hoaks dan Riwayat Panjang Konflik di Tanah Maluku
Di Maluku, hoaks berbau ujaran kebencian dan politik identitas, terutama agama, membentang jauh ke awal 1999 hingga 2000-an.

Dalam buku Carita Orang Basudara: Kisah-kisah Perdamaian dari Maluku, Zairin menuturkan, selama ribut-ribut dan saling lempar antarkelompok massa, ia menerima informasi bahwa warga di kawasan Benteng Atas (Bentas) sedang heboh.

Warga di dekat masjid, yang kebetulan sebagian besar Muslim, sedang bergerombol melihat ke arah Mardika dan Batu Merah yang secara kontur geografis berada di bawah.

Mereka memperhatikan titik api, yang tidak jelas asalnya. Tiba-tiba ada orang tak dikenal melintas dengan sepeda motor yang melaju agak kencang, berteriak-teriak kalau Masjid Raya An-Nur di Desa Batu Merah dibakar orang Kristen.

Zairin mencoba menjelaskan apa yang terjadi, tapi warga di Bentas sudah telanjur panik. Mereka termakan isu yang disampaikan orang tak dikenal tadi.

“Saat itu, cerita dari mulut ke mulut bergerak cepat tanpa ada klarifikasi,” tutur Zairin.

Riset THC, diketahui ancaman dan potensi konflik di tanah Maluku terutama berupa provokasi politis di seputar pilkada dengan menggunakan variabel agama, baik via SMS maupun selebaran.

Maluku, seperti juga daerah-daerah lain di Indonesia, terimbas panasnya suhu politik ibu kota Jakarta dalam pilkada 2017 yang membelah masyarakat ke dua kubu berseberangan, antara pendukung Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dan kelompok Anies Baswedan (Anies).

Pada tahun 2017, Abidin Wakano, lewat Ambon Reconciliation Mediantion Centre (ARMC) IAIN Ambon, berinsiatif membuat jaringan ustaz muda di Maluku untuk melawan hoaks dan ujaran kebencian.

Gerakan dimulai dari mimbar-mimbar masjid lewat khotbah yang tidak provokatif. Juga para ustaz muda diminta untuk memanfaatkan media sosial sebagai sarana dakwah dengan menyerukan konsep islam yang sejuk dan toleran.

Abidin, seorang ustaz yang pernah menjabat Ketua I Majelis Ulma Indonesia (MUI) Maluku, paham betul tentang banyaknya aduan terkait khotbah yang justru bermuatan ujaran kebencian dan memprovokasi masyarakat.

Di bulan-bulan menjelang pemungutan suara, berbagai kegiatan dilakukan dengan melibatkan masyarakat. Ada diskusi lintaskomunitas dan lokakarya. Para peserta mendapatkan materi tentang literas digital sekaligus praktik menangkal hoaks.

“Kami tidak secara terbuka menunjukkan sikap dan pilihan politik. Yang selalu kami lakukan adalah menyadarkan publik untuk berhati-hati, ada provokator dengan kepentingan politik,” tutur Abidin yang juga menjadi salah satu inisiator gerakan Provokator Damai.

Menandai Pola Hoaks Politik

Pada 5 Mei 2019, sejumlah foto yang beredar di media sosial menggemparkan warga. Dalam keterangannya, disebutkan bahwa saksi kubu Prabowo-Sandiaga di Kecamatan Amalatu, bernama Ade Samsul Hehanussa, dibacok orang tak dikenal.

Roesda Leikawa dan beberapa temannya bergerak cepat mengecek kebenaran informasi tersebut. Mereka menemukan fakta, korban pembacokan bukanlah Ade Samsul Hehanussa, melainkan Syamsul Lussy, berusia 38 tahun. Syamsul tewas dalam bentrok warga Latu dan Hualoy, dua kampung di kecamatan Amalatu.

Foto tangkapan layar yang digunakan sejumlah orang untuk mengucapkan bela sungkawa pun tidak tepat. Itu foto Moh. Sobir, warga Kemayoran, Jakarta Pusat, yang sempat dirawat di Rumah Sakit Hermina sebelum meninggal dunia, bukan karena kasus pembunuhan.

“Informasi (hoaks) itu justru dari Jakarta. Orang Maluku tahu itu murni konflik antardesa. Makanya kami bikin kegiatan tangkal hoaks di sana, pesertanya dari SD hingga mahasiswa,” kata Roesda yang dipercaya sebagai koordinator Masayarakat Anti Fitnah Indonesia (MAFINDO) Maluku.

Sebagai orang muda yang pernah mengalami konflik horizontal puluhan tahun lalu, Roesda dan kawan-kawannya merasa harus mengambil tanggung jawab untuk turut serta menangkal dan mengklarifikasi hoaks. Mereka hendak mempromosikan Maluku yang damai lewat jalan literasi.

Kesadaran ini juga yang menjadi dasar pembentukan MAFINDO Maluku di Ambon pada 2017 lalu. Berawal dari tiga orang, kini sudah ada 50 relawan yang nyaris saban hari mengedukasi masyarakat.

Komunitas ini pun telah menularkan pengetahuan dan keterampilan literasi digital, cek faka, dan kampanye melawan hoaks terhadap lebih dari seribu orang dengan beragam latar belakang, mulai dari agama, suku, hingga pekerjaan. Mulai dari anak sekolah dasar hingga warga lanjut usia.

“Kami menjawab sekaligus mengedukasi mereka soal cara mengeceknya. Semakin ke sini, pertanyaan itu semakin berkurang. Bisa jadi, mereka sudah paham,” ucap Ketua Wanita Penulis Indonesia (WPI) Ambon ini.

Menjelang pemilu serentak 2024, hoaks diyakini bakal kembali bermunculan bak cendawan di musim hujan. Tanda-tandanya sudah tampak. Salah satunya berupa isu pemunduran jadwal pemilu dari tahun 2024 ke tahun 2027 yang sempat viral.

Roesda yakin pola hoaks dan ujaran kebencian di tahun politik akan sama dengan yang sebelumnya. Namun ia juga yakin, sebagian besar masyarakat sudah cerdas membedakan hoaks dari informasi yang benar karena banyak lembaga maupun individu yang telah mengedukasi masyarakat.

Polda Maluku memilih menanggapi permasalahan hoaks dengan membentuk tim khusus patrol siber yang bertugas memantau aktivitas warga di media sosial selama 24 jam. Di momentum pemilu, tim ini menambah kesiagaan.

Kebanyakan yang menyebarkan kabar bohong, penipuan online, ujaran kebencian, pencemaran nama baik itu, mereka tidak tahu aturan. Jadi, edukasi tentang literasi digital dan aturan harus tetap kita lakukan, ujar Kepala Unit Kejahatan Siber Polda Maluku, Iptu Henny.

Dalam catatan Polda Maluku, di sepanjang tahun 2022 ini, hanya ada satu kasus hoaks yang menyasar isu SARA, yakni isu terkait konflik desa Muslim dan Kristen di Pulau Haruku. Pelakunya sudah menjalani persidangan.

Mulai dari Lingkungan Terkecil

Tentang betapa membahayakannya dampak hoaks, Ketua Angkatan Muda Gereja Protestan Maluku (AMGPM) Ranting Maranatha, Ebi Peruhu, bisa banyak bercerita.

Ia menyaksikan bagaimana pada September 2011, sebuah kerusuhan pecah, bermula dari kecelakaan tunggal yang dialami seorang pengojek bernama Darwis Saiman di kawasan Gunung Nona. Nyawa korban tak terselamatkan sebelum sampai di rumah sakit.

Isu kemudian berembus kencang, Darwis tewas dibunuh, bukan karena kecelakaan. Layanan pesan singkat (SMS) lewat telepon genggam berseliweran. Isinya memprovokasi warga Kota Ambon. Kerusuhan diperparah oleh pemberitaan di media massa nasional yang memelintir fakta.

Ada juga cerita tentang konflik antardesa yang terjadi di Pulau Haruku, Maluku Tengah, awal Januari 2022 lalu. Sehari setelah kejadian, Ebi hendak mengantar ibunya ke Hutumuri, sebuah desa di wilayah pegunungan Kota Ambon.

Dalam perjalanan menggunakan angkutan kota, ia membuka pesan berantai yang berisi informasi adanya razia KTP (Kartu Tanda Penduduk) oleh warga salah satu desa yang bertikai. Tanpa berpikir lama, rombongan itu akhirnya memutuskan untuk balik arah kembali ke rumah.

"Kabar hoaks membuat kita panik. Apalagi hoaks terkait konflik," tutur Ebi.

Pada 2020 lalu, Ebi bersama teman-temannya menggulirkan program edukasi literasi digital untuk masyarakat di kompleks tempat tinggal mereka. Basisnya adalah layanan WhatsApp. Pelatihan yang dihelat Yayasan Pengembangan dan Pemberdayaan Masyarakat (YPPM) Maluku menjadi tambahan semangat.

Demikianlah hoaks telah menjadi permasalahan yang serius. Namun kerja menangkalnya bisa belajar dari inisiatif-inisiatif baik yang tumbuh di Maluku, dimulai dari lingkungan-lingkungan terkecil yang paling relevan. (*/ERM)

*Liputan ini merupakan hasil kolaborasi lima media, yakni Jaring, Ambon Ekspres, Harian Jogja, Serambi Indonesia, dan BandungBergerak, yang didukung oleh Perhimpunan Pengembangan Media Nusantara (PPMN) di bawah Program Democratic Resilience.

  • Bagikan