Ambon, AMEKS.FAJAR.CO.ID - Pernah menjadi korban hoaks hingga terpaksa keluar dari Maluku, membuat Zairin Salampessy merasa perlu mengedukasi masyarakat. Dari berbagi foto toleransi hingga menjadi pemeriksa fakta, ia konsisten di jalan ini.
Suatu hari di tahun 2017 silam, ketika berselancar di media sosial Facebook, Zairin Salampessy menemukan tautan berita tentang Pilkada DKI Jakarta yang dibagikan beberapa temannya. Mengikuti rasa penasaran, ia membuka tautan tersebut dan segera menyadari bahwa informasi di dalamnya tidak benar, alias hoaks.
Ketika itu, suhu politik ibu kota yang begitu panas menjalar ke daerah-daerah lain di Indonesia. Tak terkecuali Maluku. Informasi palsu yang beredar luas lewat media sosial mempertajam polarisasi politik identitas berbasis agama dan etnis.
Zairin, yang akrab dipanggil Embong, tergerak untuk berbuat sesuatu. Fotografer profesional itu pun membagikan foto tentang keindahan alam Maluku dengan menandai lima hingga enam akun yang dikenalnya di Facebook. Ini cara dia, mendinginkan suasana.
Untuk melengkapi foto-foto indah tentang Maluku, Embong menuliskan narasi tentang toleransi dan perdamaian. Ada foto yang menangkap momen ketika warga Muslim membantu warga Kristen membangun gereja, atau sebaliknya.
Gerakan sederhana ini ternyata menular. Akun-akun Facebook yang ditandai Embong mengunggah foto yang mereka buat dan mengajak akun-akun yang lain lagi untuk turut membagikannya. Aktivitas ini dilakukan setiap hari selama sekitar lima bulan lamanya, hingga menajdi viral.
“Orang akhirnya sibuk dengan membagikan foto, dan perlahan melupakan kekisruhan Pilkada Jakarta,” ungkap Embong ketika ditemui 18 Juli 2022 lalu.
Korban Hoaks
Zairin Salampessy alias Embong mempunyai alasan kuat untuk berbuat di tengah situasi rawan konflik, Ia membagikan ceritanya di buku Carita Orang Basudara: Kisah-kisah Perdamaian dari Maluku.
Selama Januari–Februari 1999, di tengah tragedi kemanusiaan, Embong bekerja sebagai Koordinator Divisi Dokumentasi dan Informasi Tim Relawan untuk Kemanusiaan (TRK) Ambon.
Tidak jarang ia harus keluar masuk dan melintas di kawasan Muslim ataupun Kristen. Embong pernah bersama beberapa temannya mengikuti dialog dengan Komnas HAM bersama tokoh-tokoh Kristen di dalam Gereja Maranatha, setelah melakukan hal yang sama dengan tokoh-tokoh Muslim.
Bahkan beberapa kali ketika bentrok antarmassa tiba-tiba terjadi, pria dua anak ini sedang berada di kawasan Kristen. Aktivitas salah satu aktivis senior Muslim di Jaringan Baileo Maluku yang tak biasa ini pun berbuntut kecurigaan.
“Isu yang paling santer beredar menyebut saya sudah murtad. ‘Bayangkan saja, ada konflik begini, tapi dia ada di gereja!’ Begitu antara lain ucapan mereka yang mempertanyakan keberadaan saya,” kata Embong yang merupakan mantan pewarta foto Kantor Berita Foto Antara.
Atas saran teman-teman dan keluarga, Embong yang jadi korban kabar bohong, pergi meninggalkan Maluku. Baru pada 2007, Embong kembali ke Ambon, dan bersama teman-teman dari beragam latar belakang agama dan etnis serta suku, membentuk sebuah komunitas foto.
Hoaks tentang dosen tidak tetap di Fakultas Ushuluddin dan Dakwah, IAIN Ambon ini pun berangsur terklarifikasi dengan sendirinya.
Pada 2009, Embong terlibat dalam pembentukan Maluku Photo Club (MPC). Salah satu aktivitas mereka adalah memotret panorama di wilayah Muslim dan Kristen di Maluku. Ketika itu, jam malam masih berlaku. Kecurigaan masih mengintai di mana-mana.
“Jadi, kami bangun kepercayaan dengan komunitas foto itu. Hal ini lantas merombak stigma orang tentang jam malam yang menakutkan, menjadi lebih biasa,” tuturnya.
Selain memotret, komunitas fotografer yang dirintis Embong juga rajin mengadakan pelatihan fotografi. Pesertanya mulai dari siswa SMP, pendeta, dosen, hingga polisi. Embong meyakini, foto memiliki kekuatan penyadaran yang seringkali melampaui narasi perdamaian nan klise.
Ketika konflik dalam skala lebih kecil kembali terjadi di Talake dan Waringin, sebuah kawasan perkampungan di Ambon, pada September 2011, jam malam kembali diberlakukan.
Sejumlah ruang publik dan tempat komersial harus tutup lebih awal, sekitar pukul 5 sore. Salah satunya, restoran cepat saji di kawasan Urimessing, Kecamatan Nusaniwe, yang sering dijadikan tempat pelatihan dan diskusi foto.
Embong dan kawan-kawannya pun bersiasat. Usai aktivitas memotret, mereka mendisksukan hasilnya di restoran itu hingga lewat jam operasional. Hari pertama, restoran berhasil buka hingga jam 6 petang. Begitu seterusnya hingga akhirnya restoran baru ditutup pada jam 12 malam.
“Tadinya, agak menakutkan karena cukup rawan. Apalagi informasi yang beredar juga simpang siur. Upaya yang kami lakukan cukup berhasil. Tak hanya kami yang nongkrong, orang lain juga ikut berlama-lama di situ karena tidak merasa khawatir lagi,” kata pria kelahiran 20 Desember 1968 ini.
Menjadi Pengecek Fakta
Embong meyakini, hoaks akan selalu ada dan terus bermunculan. Ia pun merasa perlu untuk membekali diri dengan sebanyak mungkin keterampilan. Pada 2018, Embong mengikuti pelatihan untuk pelatih (Training for Trainer/ToT) Google News Initiative di Jakarta. Jadilah ia seorang pengecek fakta tersertifikasi.
Terhitung sudah puluhan kali Embong membagikan pengetahuan dan keterampilan cek fakta, bukan hanya di Maluku. Ia juga terlibat sebagai pemeriksa fakta pada Cek Fakta Debat Pemilihan Kepala Daerah 2020 yang diselenggarkaan Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI) Maluku.
Terus bertambahnya jumlah organisasi, lembaga, dan komunitas yang aktif melaksanakan pelatihan literasi digital dan cek fakta, tentu saja menerbitkan harapan.
“Kalau saya pribadi, tentu tetap berada di jalan ini untuk melawan hoaks,” tutur Embong. “Menjadi seorang trainer (pelatih) memiliki beban moral tak sedikit.” (Elias Rumain)
*Liputan ini merupakan hasil kolaborasi lima media, yakni Jaring, Ambon Ekspres, Harian Jogja, Serambi Indonesia, dan BandungBergerak, yang didukung oleh Perhimpunan Pengembangan Media Nusantara (PPMN) di bawah Program Democratic Resilience.