Hampir setengah abad Prof dr Paul L. Tahalele SpB SpBTKV (K) VE bergelut di bidang bedah toraks dan kardiovaskular. Kemampuan dan pengalamannya pun tidak diragukan lagi di dunia kedokteran Indonesia. Di usianya menjelang 75 tahun, dia meluncurkan buku terbaru Bedah Toraks; Pengalaman Klinis 44 Tahun.
SEPTINDA AYU PRAMITASARI, Surabaya
INGATAN Paul L. Tahalele kembali pada 1993. Saat dia ditugaskan dalam program Surya Baskara Jaya oleh Komando Armada RI Kawasan Timur (Koarmatim) TNI-AL ke Papua. Laki-laki kelahiran Mataram, 4 Maret 1948, itu ditunjuk sebagai ketua tim medis untuk melayani kesehatan penduduk di pulau-pulau terpencil dengan kapal perang landing ship.
Dengan keterbatasan alat medis, Paul bersama tim harus membantu pelayanan kesehatan untuk menyelamatkan berbagai kasus penyakit penduduk di pulau-pulau terpencil tersebut.
Tindakan operasi pun dilakukan di dua kontainer kamar operasi yang dibeli dari Inggris (bekas perang Malvinas).
’’Tidak ada bank darah, kami harus bisa mengambil tindakan dengan alat yang terbatas untuk menyelamatkan nyawa banyak orang,” kata Paul kepada Jawa Pos saat bedah buku karya terbarunya Bedah Toraks; Pengalaman Klinis 44 Tahun di Aula Fakultas Kedokteran (FK) Universitas Airlangga (Unair), Selasa (24/1).
Bagi Paul, bertugas di Papua adalah pengalaman yang tidak bisa terlupakan. Selain terbatasnya alat, dia juga pernah kehabisan air minum di kapal. Satu-satunya yang bisa digunakan untuk diminum adalah cairan infus dengan kadar 10 persen.
’’Itu pengalaman paling sulit. Di kapal hanya punya banyak stok cairan infus. Tidak ada air minum. Kami minum cairan infus,” ujarnya.
Tiga kali ikut bertugas di Papua. Dalam satu bulan, Paul berhasil mengoperasi 375 kasus dari berbagai jenis penyakit. Itu termasuk 11 kasus jantung bocor pada anak dan katup jantung menyempit.
’’Semua pengalaman klinis yang saya dapat di Papua juga dipublikasikan hingga internasional. Begitu juga cara mengoperasi pasien dengan keterbatasan alat medis,” ujar Dekan FK Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya (UKWMS) itu.
Paul mengatakan, sepanjang perjalanan 44 tahun sebagai ahli bedah toraks dan kardiovaskular hanya satu kali mempunyai pengalaman menyedihkan. Pasien yang ditangani meninggal di atas meja operasi karena kekurangan diagnostik. Segala upaya sudah dilakukan yang terbaik, tetapi pasien tidak bisa selamat.
’’Ini pengalaman menyedihkan. Hanya satu kali, tetapi tidak terlupakan. Itu terjadi tiga tahun setelah saya pulang dari Jerman pada 1985. Mestinya, harus jeli dan teliti dalam diagnostik pasien sebelum operasi,” jelas ketua umum PP Himpunan Bedah Toraks Kardiak dan Vaskular Indonesia (HBTKVI) itu.
Setiap kasus-kasus bedah toraks yang ditangani, Paul selalu mendokumentasikannya dengan rapi. Baik foto maupun dalam bentuk publikasi. Itu semua menjadi rangkaian perjalanan panjang yang diambil dari pengalamannya menangani kasus-kasus bedah toraks selama 44 tahun.
Paul mengaku, buku yang ditelurkan kali ini adalah buah dari pandemi Covid-19. Sejak pandemi, kesibukan tidak begitu padat. Apalagi, Indonesia saat itu sedang lockdown.
’’Dari situlah, saya mulai mengumpulkan dokumen-dokumen saya. Semua kasus yang saya tangani ada lengkap foto, baik setelah operasi dan follow up-nya. Mulai dari 1981,” kata dia.
Kepulangannya dari Jerman pada 1985, Prof dr Paul L. Tahalele SpB SpBTKV (K) VE semakin aktif dalam menangani kasus-kasus berat. Khususnya, tumor/kanker dinding toraks. Laki-laki yang akan berulang tahun ke-75 pada 4 Maret itu melakukan rekonstruksi dinding toraks dengan menggunakan Tahalele’s method.
Teknik rekonstruksi dinding toraks Tahalele’s method tersebut berhasil menangani kasus tumor ganas sekunder atau metastasis yang masih terisolasi setempat (isolated tumor).
’’Saya menggunakan teknik Tahalele’s method ini untuk semua tumor ganas dinding toraks, tumor otot atau jaringan lunak dinding toraks yang isolated atau belum terjadi metastasis jauh ke otak, paru, liver, dan lain-lain,” katanya kepada Jawa Pos saat bedah buku Bedah Toraks; Pengalaman Klinis 44 Tahun di aula Fakultas Kedokteran (FK) Universitas Airlangga (Unair).
Banyak kasus tumor/kanker dinding toraks yang berhasil ditangani Paul dengan menggunakan teknik Tahalele’s method tersebut. Hingga akhirnya, sejak 1986, Paul terus mengembangkan teknik tersebut pada kasus-kasus tumor/kanker dinding toraks.
’’Tetapi, resmi dipublikasi dengan nama Tahalele’s method ini sekitar 2000,” ujar laki-laki yang pernah menyabet penghargaan Satyalancana Karya Sapta dari Presiden RI B.J. Habibie pada 1999 dan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 2010 itu.
Teknik rekonstruksi dinding toraks yang dikembangkan Paul di Indonesia sejak 1986 itu memiliki kelebihan khusus. Yakni, biaya yang tidak mahal, alat operasi yang mudah didapat dan sederhana, serta dapat dilakukan di negara berkembang dengan fasilitas/alat operasi yang terbatas.
’’Selain itu, teknik ini kolaborasi multidisiplin ilmu kedokteran,” kata ketua umum PP Himpunan Bedah Toraks, Kardiak, dan Vaskular Indonesia (HBTKVI) itu.
Paul menuturkan, ide teknik operasi Tahalele’s method yang dikembangkan terinspirasi oleh Prof Robert Hacker pada 1983 di Erlangen, Jerman. Pada saat Paul sedang mengambil studi subspesialisasi bedah toraks kardiovaskular.
’’Dari pengalaman itu, saya mengembangkan ide dengan melakukan rekonstruksi dinding toraks pada semua kasus tumor jinak maupun ganas dinding toraks dengan defect besar,” ujarnya.
Sejak 1986 hingga 2015, lanjut dia, telah dikerjakan 106 tindakan rekonstruksi dinding toraks di RSUD dr Soetomo. Teknik rekonstruksi dinding toraks Tahalele’s method tersebut juga telah mendapatkan pengakuan dari Kementerian Hukum dan HAM pada 2011. Selain itu, instrumen dan material rekonstruksi dinding toraks Tahalele’s method mendapatkan sertifikat hak kekayaan intelektual (HKI).
Waktu 44 tahun bukan waktu yang sebentar. Paul pun menyadarinya. Namun, sekarang Paul bisa lebih lega. Sebab, pengalamannya menjadi dokter bedah toraks dan kardiovaskular bisa membawa kebaikan. Kini, perjalanan 44 tahun itu telah diabadikan lewat buku setebal 500 halaman.(***)