Jakarta, AMEKS.FAJAR.CO.ID — Setelah DPR, MPR juga merespon keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memutuskan pemisahan Pelaksanaan Pemilu Nasional dan Daerah. Pemisahan ini dinilai justru akan menimbulkan masalah baru.
Ketua MPR RI, Ahmad Muzani, menyebut pemisahan jeda waktu paling singkat dua tahun, atau paling lama dua tahun dan enam bulan, bukan hal baru dibicarakan.
Kata dia, putusan MK tersebut telah lama diwacanakan. Terlebih pada pembahasan UU Pemilu.
"Sudah pernah didiskusikan apakah pemilihan nasional, dalam hal ini pemilihan Presiden dan DPR RI, dapat dipisahkan dari pemilihan daerah," ujar Muzani kepada awak media di Hotel Claro Makassar, Jumat (4/7/2025).
Muzani mengatakan, ide tersebut pernah muncul ketika proses penyusunan Undang-Undang Pemilu di DPR RI.
"Namun, akhirnya tidak menjadi pilihan. Mengapa? Karena teman-teman di DPR RI menilai bahwa pemisahan itu lebih mencerminkan semangat negara federal," ucapnya.
Saat ini Indonesia, kata dia, sedang menetapkan diri sebagai negara kesatuan. Maka dari itu diambil keputusan bahwa Pemilu tetap disatukan antara nasional dan daerah.
"Keserentakan Pemilu saat ini justru merupakan hasil putusan MK sebelumnya. MK lah yang dulu memutuskan agar pemilu dilaksanakan serentak, Presiden, DPR RI, DPD, hingga DPRD Provinsi dan Kabupaten/Kota. Kita mengikuti keputusan itu, dan skema serentak pun diberlakukan," bebernya.
Menurut Muzani, MK justru yang kembali mengubah putusan sebelumnya. "Ini tentu menimbulkan pertanyaan. Apalagi, dalam Pasal 22E UUD 1945 disebutkan bahwa pemilu dilaksanakan sekali dalam lima tahun, untuk memilih DPR, DPD, Presiden, dan DPRD," kata dia.
Dia mengatakan, jika putusan MK terbaru itu tetap dijalankan, Pilkada dan pemilihan DPRD baru, akan digelar 2,5 tahun setelah Pemilu Presiden dan DPR RI.
"Artinya, ada jeda yang membuat masa pemilihan tidak lagi 5 tahun. Ini bisa menimbulkan tafsir bahwa putusan tersebut berpotensi bertentangan dengan UUD 1945," imbuhnya.
Muzani bilang, MPR masih butuh waktu untuk melakukan kajian dan pembahasan terhadap putusan tersebut.
"Saya sudah bertemu dengan Mendagri dan Ketua KPU. Keduanya juga sedang melakukan pendalaman terhadap implikasi putusan tersebut," tandasnya.
"Jadi, persoalannya bukan soal untung atau rugi. MK memang punya kewenangan untuk menguji apakah UU sesuai dengan semangat konstitusi. Tapi menurut kami, putusan MK kali ini justru berpotensi menimbulkan masalah baru terhadap Pasal 22E UUD 1945,” tambah Sekjen Partai Gerindra ini.
Diketahui, putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No 135/PUU-XXII/2024 tentang pelaksanaan pemilu nasional dan pemilu lokal memerintahkan pemilihan umum (pemilu) daerah diselenggarakan setelah pemilu nasional, dengan jeda waktu paling singkat dua tahun, atau paling lama dua tahun dan enam bulan, mulai 2029.
Pemilu nasional hanya untuk memilih anggota DPR, DPD, presiden/wakil presiden. Sedangkan pemilu anggota DPRD tingkat provinsi dan kabupaten/kota dilakukan bersamaan dengan pemilihan kepala daerah.
Dalam pertimbangannya, MK menjelaskan persoalan daerah cenderung tenggelam jika pemilihan DPRD provinsi dan kabupaten/kota digabung dengan pemilihan nasional. Hal ini disebabkan partai politik, kontestan, hingga pemilih yang lebih fokus terhadap pemilihan presiden dan anggota DPR.
Sementara dari sisi pemilih, MK menilai waktu pelaksanaan pemilu nasional dan daerah yang berdekatan berpotensi membuat masyarakat jenuh dan tidak fokus.
Gugatan ini diajukan Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) ke MK, terhadap Pasal 1 ayat (1), Pasal 167 ayat (3), Pasal 347 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu) serta Pasal 3 ayat (1) UU Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pilkada. (Muhsin/fajar)