Tangkal Hoax di Medsos, Literasi Digital Jadi Solusi

  • Bagikan
AMSI Diskusi Tangkal Hoax
AMSI Maluku menggelar Diskusi Tangkal Hoax dengan menghadirkan pembicara dari Pemerintah Provinsi, Polda Maluku, dan pengurus AMSI.

Ambon, AMEKS.FAJAR.CO.ID - Kebenaran dan hoax dalam penyajian informasi nyaris tak bisa dibedakan masyarakat awam. Akhirnya banyak kasus masuk ranah pidana. Literasi digital dinilai menjadi solusi menangkal hoax.

Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI) Maluku - Maluku Utara (Malut), Rabu (27/4) menggelar diskusi publik yang mengusung tema "Menangkal Hoax dengan Literasi Digital".

Kegiatan yang digelar di Cafe Story, depan Kampus Universitas Pattimura, Kota Ambon ini menghadirkan para pemateri dari Ditreskrimsus Polda Maluku, Dinas Kominfo Maluku, dan pakar Literasi Digital dari AMSI Maluku-Malut.

Ketua AMSI Maluku-Malut, Hamdi Jempot, saat membuka kegiatan, mengaku, salah satu tujuan didirikannya AMSI yaitu untuk melawan Hoax atau Berita Bohong.

Baca:

Hoax, kata dia, adalah musuh bersama yang harus diperangi bersama. Sebab, hoax kini menjadi sesuatu yang merusak prinsip kehidupan, bahkan dapat mempengaruhi kebijakan saat ini.

Mahasiswa, tambah Hamdi, merupakan generasi penerus bangsa. Sehingga mahasiswa harus dibekali agar jangan sampai menjadi korban atau bahkan sebagai orang yang ikut menyebarkan berita bohong.

"Hari ini kita lakukan diskusi ini agar kita dapat membedakan mana informasi yang benar dan bohong. Sehingga jangan sampai kita menjadi orang yang ikut menyebarkan berita bohong," harapnya.

Dalam diskusi yang berlangsung, Iptu Henny, Kanit Cyber Crime Ditreskrimsus Polda Maluku, mengaku, di era saat ini banyak orang berlomba mengikuti perkembangan. Sebab jika tidak, maka secara otomatis dirinya akan mengalami kemunduran.

Dengan kondisi tersebut, ia mengaku saat ini satu orang bisa memiliki akun media sosial lebih dari satu, bahkan dua, dan tiga. Seperti whatsapp, facebook, instagram, twitter, youtobe dan sebagainya.

"Dalam Undang-undang ITE, dulu adalah berita bohong. Tapi sekarang yang dimaksudkan dengan berita hoax adalah yang merugikan konsumen dalam transaksi elektronik," katanya.

Menurutnya, untuk menangani pemberitaan hoax bukan ansih tanggung jawab kepolisian, tapi seluruh elemen masyarakat.

Kepala Dinas Komunikasi dan Informasi (Kominfo) provinsi Maluku, Titus F.L Renwarin, mengaku, diskusi menangkal hoax dengan literasi digital, sangat penting di era keterbukaan saat ini.

"Pemerintah hadir untuk mengatur kehidupan bersama-sama. Mengatur langkah-langkah kebijakan bersama. Sehingga setiap upaya atau kebijakan yang ditetapkan pemerintah itu kita butuh dukungan dari seluruh elemen masyarakat," katanya.

Menurutnya, dampak berita bohong umumnya menyerang pemerintah khususnya implementasi kebijakan. Akibatnya, masyarakat tidak percaya dengan pemerintah. Kemudian akan memunculkan keributan.

"Yang ketiga menimbulkan perpecahan di tengah masyarakat kemudian menimbulkan opini negatif. Dia juga menurunkan reputasi baik itu pejabat dalam mengambil keputusan dan sebagainya dan yang terakhir dia merugikan masyarakat banyak. Ini adalah dampak dari berita hoax," sebutnya.

Baca:

Sementara itu, Zairin Salampessy, pakar literasi digital, mengaku dari jumlah penduduk Indonesia sebanyak lebih dari 270 juta orang, tercatat pengguna handphone sebanyak lebih dari 300 juta orang.

"Ini karena ada satu orang bisa memegang handphone lebih dari satu, dua, tiga. Indonesia sendiri merupakan urutan ketiga terbesar di Asia Pasifik pengguna handphone di dunia, yang pertama Cina kemudian India," katanya.

Menurutnya, dari data yang dilansir, pengguna media sosial terbanyak adalah WhatsApp, kemudian, Facebook dan Instagram. Selanjutnya diikuti Twitter dan lain sebagainya.

"Sehingga hoax ini tidak hanya menyasar orang awam tapi sekelas Profesor akademisi pun bisa termakan hoax. Olehnya itu setiap informasi yang diterima harus disaring dulu baru disering," pintanya.

Menurutnya, dunia literasi digital ada 2. Yaitu Misinformasi dan Disinformasi. Misinformasi adalah informasi yang salah tapi orang percaya terhadap informasi tersebut.

"Yang kedua adalah Disinformasi yaitu informasi yang salah tapi orang tetap membagikannya. Ini yang harus diperhatikan," katanya.(yan)

  • Bagikan

Exit mobile version