Ambon, AMEKS.FAJAR.CO.ID.- Ahli kimia anorganik Fakultas Matematika dan IPA (MIPA) Universitas Pattimura, Yustinus Male, kembali menegaskan tingginya penggunaan merkuri di tambang emas Gunung Botak, berdampak pada penjualan ikan khusus tuna ke manca negara.
Ekspor tuna Maluku akan ditolak, jika penggunaan bahan kimia merkuri di Pulau Buru dan Tambang Sinabar di Seram Bagian Barat tidak diselesaikan oleh pemerintah daerah.
Yustinus Male menyebut, pemerintah daerah baik provinsi maupun kabupaten, jika tidak segera mengambil langkah antisipasi guna menyelesaikan penggunan bahan kimia merkuri di Buru dan SBB, akan berdampak kepada lingkungan khusus perairan Buru dan Piru tercemar.
"Sebenarnya penggunaan merkuri ini sudah sangat masif. Pemerintah jangan tutup mata. Ini soal kemaslahatan manusia," kata Male, Sela (13/12/2022)
Male mengaku, tambang Gunung Botak dimulai 2011 penggunaan bahan kimia berbahaya itu diketahui sejak 2012. Karena itu, jika tidak segera diselesaikan, dampaknya akan sangat luas tidak hanya masyarakat Maluku tapi Indonesia.
"Jadi, persoalan ini sudah terjadi sejak 2011 dimana aktivitas Gunung Botak itu dimulai. Penggunaan merkuri diketahui 2012. Penelitian tahun 2014 ternyata biota laut di Teluk Kayeli telah terkontaminasi merkuri.
Dikatakan, kondisi di Gunung Botak ditindaklanjuti Gubernur kala itu Said Assagaff.
"Saya waktu itu masuk dalam tim penanggulangan Gunung Botak dan jurusan kimia punya alat, tetapi ada satu bagian kompartemen namun untuk analisa merkuri yang tidak ada. Waktu itu pemprov sudah janji tapi tidak terpenuhi sampai sekarang. Nah itu menyebabkan riset merkuri tidak dapat dilakukan oleh kelompok keahlian dibawa kepemimpinan saya," jelasnya.
Male mengatakan, anggaran untuk riset saat itu hanya mengandalkan dana reset dari tugas akhir mahasiswa dan pihak lain yang jumlahnya terbatas.
Menurut Male hasil penelitian pada 2014, semua biota laut di Teluk Kayeli Pulau Buru sudah tercemar merkuri.
Jadi penelitian pada 2014 itu, menurut dia, seluruh biota laut di Teluk Kayeli Pulau Buru sudah tercemar, walaupun terjadi penurunan waktu penutupan aktivitas penambangan emas tanpa izin (PETI) sejak tahun 2018.
"Selama dua tahun penelitian itu konsentrasi di biota laut itu sudah turun. Tetapi sejak tahun 2020 tambang itu dibuka kembali dan walaupun sudah tutup disaat kepemimpinan eks Kapolda Maluku, Royke Lumoa, dan kini dibuka lagi dimana penggunaan merkuri itu lebih marak dari sebelumnya," beber Male.
Male khawatir, jika kondisi tersebut tidak segera dikendalikan, dampaknya Pulau Buru dan Teluk Piru akan mengalami seperti yang terjadi di Minamata Jepang.
"Kenapa saya katakan demikian, karena dari hasil penelitian di tambang Sinabar di SBB itu konsentrasi sedimen sudah tinggi di Seram. Nah, kita tidak punya dana dan alat untuk penelitan lebih lanjut. Jika kondisi ini dibiarkan dan kita tetap ekspor tuna dan kalau ada terdapat konsentrasi merkuri jelas ekspor kita ditolak," tegas Male (ERM).