Ekspor Perikanan Aman, DKP-Pengusaha: Tak ada Penolakan

  • Bagikan
ekspor perikanan
Kadis Perikanan Provinsi Maluku, Erawan Asikin.

Ambon,AMEKS.FAJAR.CO.ID.—Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Provinsi Maluku, memastikan aktifitas ekspor perikanan dari Maluku aman. Tidak ada penolakan produk yang dikirim para eksportir.

Hal ini disampaikan Plt. Kepala DKP Provinsi Maluku, Erawan Asikin. Penegasan Erawan Asikin mengklarifikasi adanya pemberitaan disebut Tuna Asal Maluku “Penuh” Merkuri, Pasar Internasional Ramai-Ramai Menolak.

Dalam keterangan resminya, Erawan Asikin menegaskan hingga saat ini tidak ada penolakan terhadap ekspor produk perikanan Maluku di beberapa negara tujuan seperti, Amerika Serikat, Jepang dan Vietnam yang selama ini menjadi tujuan ekspor perikanan Maluku.

Terkait persoalan ini, Erawan mengaku, telah berkoordinasi dengan Badan Karantina Ikan, Pengendalian Mutu dan Keamanan Hasil (BKIPM), Kementerian Kelautan dan Perikanan RI, yang berperan penting dalam mencegah masuk tersebarnya hama penyakit ikan, pengendalian mutu dan keamanan hasil perikanan.

BKIPM telah berkoordinasi hingga ke United States’ Food and Drug Administration (FDA), merupakan lembaga pengawas obat dan makanan Amerika Serikat yang mengatur regulasi terkait produk yang dipasarkan di negara tersebut.

"Dan dari hasil konfirmasi BKIPM ke FDA, telah disampaikan bahwa dari tahun 2021 hingga 2022 tidak ada penolakan satupun produk perikanan Maluku. Begitu juga dengan negara tujuan ekpsor Jepang. Untuk Eropa belum ada yang diekpsor," terang Erawan, Senin (12/12/2022).

Erawan menjelaskan, untuk pengiriman ekspor hasil perikanan dan kelautan, para eksportir termasuk di Maluku harus memiliki sejumlah syarat yang wajib dipenuhi. Diantaranya, hasil perikanan harus melalui pengujian mutu oleh BKIPM.

"Setelah dinyatakan lolos, barulah BKIPM akan mengeluarkan sertifikat Health Certificate (HC) yang artinya layak untuk ekspor," jelas Erawan.

Kendati demikian, eksportir juga, mempunyai alat uji di masing masing Unit Pengolahan Ikan (UPI) mereka, untuk pengujian mutu ikan. Disamping itu, mereka (eksportir) juga harus memiliki sertifikasi yang didapat dari customer-customer di luar negeri.

Misalnya, MSC certification (Marine Stewardship Council). MSC certification adalah salah satu sertifikasi eco-labelling yang sangat popular di pasar Internasional, terutama di USA dan negera-negara Uni Eropa dan memiliki kriteria penilaian yang sangat kompleks.

Ditempat yang sama beberapa pelaku usaha ekspor ikan tuna yang hadir mendamping kepala DKP Provinsi Maluku, Erawan Asikin, juga memastikan jika aktifitas ekspor yang dilakukan ke negara tujuan sejak tahun 2021 sampai akhir 2022 tidak pernah ada penolakan produk ekspor di lakukan.

"Yang kami jalani sampai dari tahun 2021 hingga 2022 ini, kami belum ada yang namanya terjadi penolakan produk yang kami kirim," akui Iwan Tagius, Maneger Operasional PT. Maluku Prima Makmur.

Dipastikan Iwan, aktifitas ekspor tahapannya begitu ketat dilakukan baik di internal perusahaan maupun dari instansi pemerintah berwenang, dalam hal ini Balai Karantina Ikan, Pengendalian Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan (BKIPM) Provinsi Maluku.

"Kenapa demikian, karena memang produk yang kami keluarkan itu sudah melalui alat sensor logam berat atau merkuri dan lainya, tidak sesuai dengan yang diberitakan. Hal ini perlu kami jelaskan, ikan yang kami lakukan pengiriman atau ekspor keluar negeri itu sudah melalui fase penelitian dan cek begitu ketat,” akui Iwan lagi.

Hal yang sama juga disampaikan Sarah Hutapea, perwakilan PT. Harta Samudera perusahaan eksportir tuna yang melakukan ekspor dengan negara tujuan yakni, Vietnam, sejauh ini tidak ada penolakan.

"Karena kita juga lakukan pengujian laboratorium sebelum ikan kita ekspor. Jadi memang sudah melalui pengujian yang begitu ketat. Kalau untuk Uni Eropa kita belum masuk, jadi kalau mau bilang di tolak tidak mungkin karena memang belum ke sana,” ujar Sarah.

Kemudian, lanjut Sarah, ada banyak sertifikasi mutu dilakukan, dan berstandar internasional. Dicontohkan, salah satunya dari Marine Stewardship Council (MSC).

"Ada banyak sertifikasi mutu yang kami lakukan dan itu standarnya internasional dan itu setiap tahun dilakukan audit ke perusahaan. Jadi standar ekspor ke luar negeri itu kita benar-benar penuhi dan kita konsen disitu, jangan sampai prodak kita kirim itu terjadi penolakan," demikian Sarah.

Sebelumnya diberitakan, penggunaan merkuri dan sianida dalam penambangan Gunung Botak, Pulau Buru, kini berdampak luas. Sejumlah negara impor menolak ekspor Tuna Indonesia. Alasannya kosentrasi merkuri pada tuna Indonesia tinggi.

Hal Ini disampaikan ahli Kimia Anorganik pada Fakultas MIPA Universitas Pattimura, Yusthinus Male saat dikukuhkan sebagai Guru Besar dalam bidang Ilmu Kimia Anorganik pada Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (MIPA) Universitas Pattimura, Rabu (7/12).

Gunung Botak masih beroperasi Penambangan Emas Tanpa Izin (PETI). Mereka menggunakan merkuri dan sianida tanpa kendali. Ekspor Tuna Indonesia, salah satunya berasal dari perairan Maluku yang dinilai Male sudah mulai tercemar dampak penambangan.

Male mengaku, masifnya penggunaan bahan kimia merkuri dan sianida di Gunung Botak sangat berdampak luas tidak hanya lingkungan, tetapi sektor kesehatan, perikanan, ekonomi, sosial budaya dan lainnya.

Saat ini salah satu sektor yang sudah mulai terasa dampaknya yakni sektor perikanan. Dimana sejumlah Negara mulai menolak impor ikan tuna dari Indonesia dengan alasan konsentrasi merkuri pada ikan tuna Indonesia, telah melampaui ambang batas.

Hal itu diungkapkan Male kepada wartawan usai dikukuhkan sebagai Guru Besar dalam bidang Ilmu Kimia Anorganik pada Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (MIPA) Universitas Pattimura, Rabu (7/12).

Male dikukuhkan dalam Rapat Terbuka Luar Biasa Senat Universitas Pattimura yang dipimpin Ketua Senat, Profesor Simon Nirahua. Menurutnya, lemahnya pengawasan dan penegakan hukum menyebabkan PETI dengan menggunakan merkuri berdampak pada berbagai sektor salah satunya perikanan.

"Sejumlah negara seperti Jepang, Amerika Serikat dan Uni Eropa menolak impor ikan dari Indonesia. Ikan yang dimaksud adalah tuna yang merupakan komoditi utama yang berasal dari perairan Maluku. Konsentrasi merkuri pada ikan-ikan di Maluku telah melampaui ambang batas yang ditetapkan," ujar Male.(ERM)

Ekspor Perikanan Aman, DKP-Pengusaha: Tak ada Penolakan

Ambon,AMEKS.FAJAR.CO.ID.—Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Provinsi Maluku, memastikan aktifitas ekspor perikana dari Provinsi Maluku ke luar negeri aman, dan tidak ada penolakan prodak yang dikirim para eksportir.

Hal ini disampaikan Plt. Kepala DKP Provinsi Maluku, Erawan Asikin. Penegasan Erawan Asikin mengklarifikasi adanya pemberitaan disebut Tuna Asal Maluku “Penuh” Merkuri, Pasar Internasional Ramai-Ramai Menolak.

Dalam keterangan resminya, Erawan Asikin menegaskan hingga saat ini tidak ada penolakan terhadap ekspor produk perikanan Maluku di beberapa negara tujuan seperti, Amerika Serikat, Jepang dan Vietnam yang selama ini menjadi tujuan ekspor perikanan Maluku.

Terkait persoalan ini, Erawan mengaku, telah berkoordinasi dengan Badan Karantina Ikan, Pengendalian Mutu dan Keamanan Hasil (BKIPM), Kementerian Kelautan dan Perikanan RI, yang berperan penting dalam mencegah masuk tersebarnya hama penyakit ikan, pengendalian mutu dan keamanan hasil perikanan.

BKIPM telah berkoordinasi hingga ke United States’ Food and Drug Administration (FDA), merupakan lembaga pengawas obat dan makanan Amerika Serikat yang mengatur regulasi terkait produk yang dipasarkan di negara tersebut.

"Dan dari hasil konfirmasi BKIPM ke FDA, telah disampaikan bahwa dari tahun 2021 hingga 2022 tidak ada penolakan satupun produk perikanan Maluku. Begitu juga dengan negara tujuan ekpsor Jepang. Untuk Eropa belum ada yang diekpsor," terang Erawan, Senin (12/12/2022).

Erawan menjelaskan, untuk pengiriman ekspor hasil perikanan dan kelautan, para eksportir termasuk di Maluku harus memiliki sejumlah syarat yang wajib dipenuhi. Diantaranya, hasil perikanan harus melalui pengujian mutu oleh BKIPM.

"Setelah dinyatakan lolos, barulah BKIPM akan mengeluarkan sertifikat Health Certificate (HC) yang artinya layak untuk ekspor," jelas Erawan.

Kendati demikian, eksportir juga, mempunyai alat uji di masing masing Unit Pengolahan Ikan (UPI) mereka, untuk pengujian mutu ikan. Disamping itu, mereka (eksportir) juga harus memiliki sertifikasi yang didapat dari customer-customer di luar negeri.

Misalnya, MSC certification (Marine Stewardship Council). MSC certification adalah salah satu sertifikasi eco-labelling yang sangat popular di pasar Internasional, terutama di USA dan negera-negara Uni Eropa dan memiliki kriteria penilaian yang sangat kompleks.

Ditempat yang sama beberapa pelaku usaha ekspor ikan tuna yang hadir mendamping kepala DKP Provinsi Maluku, Erawan Asikin, juga memastikan jika aktifitas ekspor yang dilakukan ke negara tujuan sejak tahun 2021 sampai akhir 2022 tidak pernah ada penolakan produk ekspor di lakukan.

"Yang kami jalani sampai dari tahun 2021 hingga 2022 ini, kami belum ada yang namanya terjadi penolakan produk yang kami kirim," akui Iwan Tagius, Maneger Operasional PT. Maluku Prima Makmur.

Dipastikan Iwan, aktifitas ekspor tahapannya begitu ketat dilakukan baik di internal perusahaan maupun dari instansi pemerintah berwenang, dalam hal ini Balai Karantina Ikan, Pengendalian Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan (BKIPM) Provinsi Maluku.

"Kenapa demikian, karena memang produk yang kami keluarkan itu sudah melalui alat sensor logam berat atau merkuri dan lainya, tidak sesuai dengan yang diberitakan. Hal ini perlu kami jelaskan, ikan yang kami lakukan pengiriman atau ekspor keluar negeri itu sudah melalui fase penelitian dan cek begitu ketat,” akui Iwan lagi.

Hal yang sama juga disampaikan Sarah Hutapea, perwakilan PT. Harta Samudera perusahaan eksportir tuna yang melakukan ekspor dengan negara tujuan yakni, Vietnam, sejauh ini tidak ada penolakan.

"Karena kita juga lakukan pengujian laboratorium sebelum ikan kita ekspor. Jadi memang sudah melalui pengujian yang begitu ketat. Kalau untuk Uni Eropa kita belum masuk, jadi kalau mau bilang di tolak tidak mungkin karena memang belum ke sana,” ujar Sarah.

Kemudian, lanjut Sarah, ada banyak sertifikasi mutu dilakukan, dan berstandar internasional. Dicontohkan, salah satunya dari Marine Stewardship Council (MSC).

"Ada banyak sertifikasi mutu yang kami lakukan dan itu standarnya internasional dan itu setiap tahun dilakukan audit ke perusahaan. Jadi standar ekspor ke luar negeri itu kita benar-benar penuhi dan kita konsen disitu, jangan sampai prodak kita kirim itu terjadi penolakan," demikian Sarah.

Sebelumnya diberitakan, penggunaan merkuri dan sianida dalam penambangan Gunung Botak, Pulau Buru, kini berdampak luas. Sejumlah negara impor menolak ekspor Tuna Indonesia. Alasannya kosentrasi merkuri pada tuna Indonesia tinggi.

Hal Ini disampaikan ahli Kimia Anorganik pada Fakultas MIPA Universitas Pattimura, Yusthinus Male saat dikukuhkan sebagai Guru Besar dalam bidang Ilmu Kimia Anorganik pada Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (MIPA) Universitas Pattimura, Rabu (7/12).

Gunung Botak masih beroperasi Penambangan Emas Tanpa Izin (PETI). Mereka menggunakan merkuri dan sianida tanpa kendali. Ekspor Tuna Indonesia, salah satunya berasal dari perairan Maluku yang dinilai Male sudah mulai tercemar dampak penambangan.

Male mengaku, masifnya penggunaan bahan kimia merkuri dan sianida di Gunung Botak sangat berdampak luas tidak hanya lingkungan, tetapi sektor kesehatan, perikanan, ekonomi, sosial budaya dan lainnya.

Saat ini salah satu sektor yang sudah mulai terasa dampaknya yakni sektor perikanan. Dimana sejumlah Negara mulai menolak impor ikan tuna dari Indonesia dengan alasan konsentrasi merkuri pada ikan tuna Indonesia, telah melampaui ambang batas.

Hal itu diungkapkan Male kepada wartawan usai dikukuhkan sebagai Guru Besar dalam bidang Ilmu Kimia Anorganik pada Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (MIPA) Universitas Pattimura, Rabu (7/12).

Male dikukuhkan dalam Rapat Terbuka Luar Biasa Senat Universitas Pattimura yang dipimpin Ketua Senat, Profesor Simon Nirahua. Menurutnya, lemahnya pengawasan dan penegakan hukum menyebabkan PETI dengan menggunakan merkuri berdampak pada berbagai sektor salah satunya perikanan.

"Sejumlah negara seperti Jepang, Amerika Serikat dan Uni Eropa menolak impor ikan dari Indonesia. Ikan yang dimaksud adalah tuna yang merupakan komoditi utama yang berasal dari perairan Maluku. Konsentrasi merkuri pada ikan-ikan di Maluku telah melampaui ambang batas yang ditetapkan," ujar Male.(ERM)

  • Bagikan

Exit mobile version