Ternate, AMEKS.FAJAR.CO.ID - Sosialisasi KUHP yang diselenggarakan Mahukupi dilakukan di Ternate, Maluku Utara pada, Senin (30/1/2023). Sosialisasi ini bekerjasama dengan civitas akademika Universitas Khairun.
Ini merupakan yang keempat kalinya diselenggarakan setelah Medan, Padang, dan Pontianak. Dalam sambutannya, Sekjen Mahupiki, Ahmad Sofyan mengatakan sosialisasi yang dilakukan Mahupiki dengan Fakultas tak hanya menginformasikan KUHP baru, tetapi juga mendialogkan KUHP agar publik memahaminya.
“Banyak aspek yang nanti akan dibahas di acara ini, sebagai sarana untuk memberikan pengetahuan bagi stakeholder. Stakeholder dapat bertanya langsung pada narasumber dibandingkan bertanya lewat media massa atau media sosial, karena ditakutkan jawabannya tidak tepat,” ujarnya saat memberikan sambutan pada Sosialisasi KUHP di Hotel Sahid Bela, Senin (30/1/2023).
Rektor Universitas Khairun, Dr. M. Ridha Ajam, M.Hum mengatakan sosialisasi ini berlangung secara luring dan daring serta dihadiri oleh Forkopimda di Maluku Utara. Kegiatan ini dilakukan untuk memberikan pengetahuan kepada peserta terkait kehadiran KUHP yang baru.
“KUHP Baru menjadi suatu kebanggaan bagi masyarakat hukum Indonesia, mengingat KUHP Baru ini menjadi mahakarnya anak bangsa. KUHP dibuat dan disusun oleh pakar dan ahli di Indonesia yang sudah mengikuti perkembangan hukum di dunia,” kata Dr. M. Ridha Ajam.
Plt Dirjen Peraturan Perundang-Undangan Kemenkumham, Dhahana Putra, Bc. IP mengatakan perjalanan panjang pembentukan KUHP menjadi sesuatu yang berarti bagi kami. Cukup lama Indonesia dijajah Belanda, sejak itu Indonesia menggunakan WvS dari Belanda. Sejatinya, memang mengadopsi KUHP dari Perancis, karena Belanda juga pernah dijajah oleh Perancis. Kemudian diadopsi oleh Belanda dan disebarkan di berbagai negara jajahan.
“Keinginan untuk merubah KUHP sudah dilakukan sejak 1958 sejak adanya LPHN. Selama 7 Presiden dan 7 Pemerintahan masa perjuangan untuk merubah KUHP. Ada perrnyataan negatif bahwa RKUHP disahkan terburu-buru dan tidak ada sosialisasi padahal sudah sejak lama dari 1963 dibahas. Semua pasal-pasal ada kajiannya, tetapi kami memahami perkembangan informasi yang perlu didalami,” ujar Dhahana Putra.
KUHP warisan Belanda, menurutnya, menggunakan pendekatan yang semua perbuatan diannggap pidana, sehingga terjadi over capacity di Lapas dan tidak tune-in dengan situasi kemasyarakatan. Hal ini juga menjadi suatu permasalahan karena masing-masing lembaga menganut aturan yang berbeda, sehingga membutuhkan produk hukum yang mengadopsi restorative justice.
“Ada berapa misi KUHP yakni rekodifikasi, harmonisasi, modernisasi, aktualisasi, dan modernisasi. Perubahan paradigma hukuman akan mengurangi over capacity di Lapas melalui pendekatan pembinaan atau kerja sosial dan denda, tidak sekedar hukuman pidana,” ucapnya.
Pada kesempatan yang sama, Guru Besar Hukum Pidana UGM, Prof. Dr. Marcus Priyo Gunarto, S.H., M.Hum, mengatakan dari sisi kebaruan banyak catatan yang bisa disampaikan. Dari kebaruan ini membedakan antara KUHP nasional dengan WvS. Pengakuan hukum adat, delik adat merupakan ciri khas hukum pidana bangsa Indonesia.
“Delik adat itu sejak merdeka eksistensinya diakui oleh negara. Persoalannya adalah mengintegrasikan dalam hukum pidana nasional Hukum adat juga menjadi puncak-puncak kebudayaan yang harus diakui jika kita konsisten dengan Bhineka Tunggal Ika,” ungkap Prof Marcus Priyo.
Menurutnya, selama ini percobaan melakukan pelanggaran tidak dipidana. Di dalam KUHP baru bahwa percobaan tersebut hanya diancam dengan denda kategori dua dari delapan kategori denda. Penonjolan keadilan di atas kepastian hukum. Prinsip ini hidup didalam doktrin dan praktik peradilan yang tidak tertulis.
“Jika ada benturan antara keadilan dan kepastian hukum, maka harus diutamakan keadilan. Setiap warga negara berhak memperoleh kepastian hukum yang adil. Prinsipnya bukan kepastian hukum menurut UU tetapi kepastian hukum menurut keadilan. Perundang-undangan pidana yang lain harus mengacu pada buku kesatu KUHP,” katanya.
Dalam pemaparannya, Ketua Senat Akademik FH UI, Dr. Surastini Fitriasih, S.H., M.H, menyampaikan keunggulan KUHP baru sebagai hukum pidana dan sistem pemidanaan modern yakni bertitik tolak dari asas keseimbangan, rekodifikasi Hukum Pidana yang terbuka dan terbatas, memuat berbagai inovasi terkait pidana dan pemidanaan, pertanggungjawaban pidana korporasi, mengatur pertanggungjawaban mutlak (Strict Liability), dan pertanggungjawaban pengganti (Vicarious Liability).
“Pada KUHP yang baru terdapat strategi yaitu alternatif pidana penjara yang merupakan cara melaksanakan pidana penjara atau strafmodus. Hal ini juga menjadi alternatif atas "Pidana Penjara Singkat" yang dinilai tidak memiliki efektivitas. Bentuk sanksi hukumnya adalah pidana pengawasan, pidana denda dan pidana kerja sosial,” tutupnya.(*/yan)