Soal Kotak Kosong, NasDem dan Golkar Angkat Bicara

  • Bagikan
Gubernur sulsel
Ketua DPW NasDem Sulsel, Rusdi Masse Mappasessu, dan Wakil Ketua Umum DPP Partai Golkar, Nurdin Halid.

Makassar, AMEKS.FAJAR.CO.ID - Isu terkait kotak kosong di Pemilihan Gubernur (Pilgub) Sulsel 2024 terus mengemuka. Ketua DPW NasDem Sulsel, Rusdi Masse Mappasessu angkat bicara.

Menurut Wakil Ketua Komisi IV DPR RI itu, kotak kosong adalah bagian dari demokrasi. Bahkan ada aturan yang mengatur terkait pemilihan kotak kosong dan itu tidak dilarang dalam undang-undang.

"Yang tidak sehat kalau ada aturan yang tidak membolehkan (kotak kosong)," kata Rusdi kepada wartawan, Selasa (30/7/2024).

Dia menambahkan, justru yang perlu dipertanyakan adalah calon lain yang tidak mampu mencukupkan partai untuk bertarung di Pilgub Sulsel. Mengapa partai lain tidak mau memberikan rekomendasinya.

"Itu harus dikomentari calon yang mengeluarkan isu itu (kotak kosong), intropeksi diri kenapa partai tidak mau dukung dia," jelas Rusdi.

Sebelumnya, Wakil Ketua Umum DPP Partai Golkar, Nurdin Halid ikut menyampaikan pendapatnya terkait dinamika Pilgub Sulsel 2024. Saat ini ramai jika ajang kontestasi lima tahunan itu bakal berakhir dengan kotak kosong.
Jika itu terjadi, maka Pilgub Sulsel 2024 akan diikuti oleh satu pasangan calon saja. Mirip seperti Pilwalkot Makassar 2018.

Menurut pendapat pribadi Nurdin Halid, Pilgub Sulsel 2024 bakal mengarah ke kotak kosong. Dia menyebut jika hal itu bagian dari demokrasi. "Feeling politik saya kotak kosong. Itu musyawarah mufakat," katanya kepada wartawan.

Menurutnya, kotak kosong adalah bukti nyata demokrasi Pancasila yang melahirkan keputusan dari musyawarah mufakat. Apalagi kotak kosong tidak disepakati oleh satu partai saja.

“Sebenarnya kotak kosong implementasi demokrasi Pancasila yaitu musyawarah mufakat ada kesepakatan partai kita cukup satu calon," ungkapnya.

Sementara itu, pengamat psikologi politik sekaligus akademisi UNM, M. Rhesa menegaskan, soal partai politik (parpol) yang tidak memberi dukungan, bisa terjadi karena berbagai pertimbangan internal dari parpol.

"Partai politik itu punya pengalaman panjang dalam ikut berkontestasi di pemilihan umum bersama figur. Oleh karena itu mereka punya hitung-hitungannya masing-masing, punya strategi pemenangan serta punya analisa yang dalam menentukan bakal calon,” lanjutnya.

Bisa saja pertimbangan partai itu terkait loyalitas. Jika calonnya acapkali mengalami konflik dengan tandem politiknya maka itu bisa jadi evaluasi untuk tidak bersama dalam kontestasi berikutnya. Berat bila calon sampai hobby berkonflik dengan tokoh-tokoh Sulsel, seperti Jusuf Kalla, Aksa Mahmud, Ilham Arief Siradjuddin, SYL, Iwan Aras, Ahmad Ali, Agus Arifin Numang, Fatmawati dll.

“Semua itu pasti menjadi pertimbangan parpol dalam menjatuhkan dukungannya sebab membangun Sulsel yang besar ini butuh soliditas yang utuh dari awal hingga akhir periode, bahkan ketika periode telah selesai” katanya.

Sementara itu, pengamat Saiful menambahkan, kemungkinan lain parpol tidak melirik karena adanya keluarga calon yang sementara diperiksa soal hukum. Seperti dimuat media bahwa saat ini Kejaksaan Negeri (Kejari) Makassar tengah mengusut adanya dugaan penyelewengan dana hibah di sebuah organisasi olahraga.

Bahkan Kejari telah menjadwalkan pemanggilan terhadap keluarga seorang bakal calon tersebut.

"Semua itu bisa jadi batu sandungan yang membuat parpol merasa tersandera oleh kasus hukum dari keluarga calon tersebut, " ujarnya. (*/yan)

  • Bagikan