Piru, AMEKS.FAJAR.CO.ID – Sengketa panjang terkait lahan adat di wilayah Negeri Hatutelu, Piru, Kabupaten Seram Bagian Barat (SBB) kembali mencuat setelah keluarga Manuputty menuntut kejelasan atas hak tanah mereka yang terletak di Gunung Tinggi, Dusun Talaga.
Lokasi tersebut sejak tahun 2009 telah dikelola oleh PT. Manusela Prima Mining berdasarkan Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang diterbitkan oleh Bupati Seram Bagian Barat saat itu, Jacobus F. Puttileihalat.
Dalam rilis yang diterima ameks.fajar.co.id, Markus Manuputty, perwakilan keluarga, mengaku ada banyak kejanggalan dalam proses pengelolaan tambang tersebut. "Surat pernyataan asli milik kami yang digunakan sebagai dasar penerbitan izin justru digelapkan. Akibatnya, hak adat kami diabaikan," ujarnya.
Markus menjelaskan, tanah tersebut adalah bagian dari petuanan adat yang tidak dapat dipindahtangankan secara sepihak tanpa persetujuan seluruh pihak terkait, termasuk saniri negeri.
Hanya saja, kata dia, pada tahun 2007, tanah seluas 5.000 hektare tersebut dialihkan menjadi Hak Guna Usaha (HGU) kepada PT. Manusela Prima Mining tanpa proses musyawarah adat.
Kronologi Sengketa Pada tahun 2006, sebuah surat pernyataan dibuat oleh Kepala Desa Piru saat itu, Michael Kukupessy, bersama keluarga Manuputty, yang menyatakan tidak keberatan sebagian tanah adat digunakan untuk eksplorasi nikel.
Pada Desember 2006, kata Markus Manuputty, Jacobus F. Puttileihalat (Bupati SBB pada saat itu) memerintahkan satu anggota Sat Pol PP atas nama Yosep Hatumena untuk memanggil dirinya untuk bertemu.
Dalam pertemuan, kata Markus Manuputty, Jacobus F. Puttileihalat menyampaikan bahwa ada informasi demonstrasi penolakan pertambangan di lokasi Gunung Tinggi.
“Jacobus F. Puttileihalat menanyakan surat pernyataan asli yang di buat dan diketahui oleh kepala desa
Piru. Saya mengaku surat tersebut berada di rumah. Saya diajak ke rumah,” kata dia.
Setelah surat diambil, kata Markus Manuputty, diserahkan ke Jacobus F. Puttileihalat untuk di lihat dan di pelajari. Markus Manuputty diajak ke Pandopo Bupati.
“Usai berdiskusi, saya pamit pulang, tapi surat itu tidak dikembalikan Jacobus F. Puttileihalat. Katanya beliau memerlukan surat untuk dipelajari. Setelah tiga hari kemudian, saya kembali meminta surat tersebut di Pandopo, tapi saya tidak diberikan,” kata Markus Manuputty.
Beberapa hari kemudian, Markus Manuputty mengaku bertemu lagi Jacobus F. Puttileihalat. Tapi lagi-lagi tidak dikembalikan. “Perbuatan tersebut merupakan merupakan tindak pidana penggelapan yang dilakukan oleh Jacobus F. Puttileihalat terhadap saya,” tandas dia,
Surat ini, menurut Markus, diduga dimanipulasi hingga menjadi dasar pengalihan hak tanah secara ilegal. "Pelepasan hak ini dilakukan oleh pihak yang sudah tidak menjabat sebagai kepala desa secara sah," tambah Markus.
Ia juga mengungkapkan bahwa perluasan area tambang menjadi 11.310 hektare oleh PT. Manusela Prima Mining dilakukan tanpa koordinasi dengan pemerintah desa maupun pihak ahli waris Manuputty.
Akibat aktivitas tambang yang berlangsung, lingkungan sekitar Gunung Tinggi mengalami kerusakan parah. Markus menyebutkan, sekitar 150.000 ton material tambang ditinggalkan begitu saja, mencemari kawasan pantai dan puncak gunung.
Keluarga Manuputty telah melaporkan kasus ini ke Polda Maluku pada tahun 2008, termasuk dugaan penggelapan dokumen dan penyalahgunaan izin tambang.
Langkah ini, kata dia, mendorong Gubernur Maluku membentuk tim terpadu untuk menutup aktivitas tambang ilegal tersebut. Namun, pada tahun 2009, PT. Manusela Prima Mining kembali mendapatkan izin tambang yang kontroversial.
"Hingga kini, kami terus memperjuangkan hak adat kami. Tanah adat harus dihormati sebagai warisan leluhur," tegas Markus.(jardin papalia)