Balai Pemukiman Ngaku Salah: Anggaran Cair 100 Persen, Proyeknya Amburadul

  • Bagikan
balai pemukiman maluku
Kondisi salah satu sekolah yang ditinggalkan Balai Prasarana dan Pemukiman Maluku. (Foto: ameks)

AMBON, AMEKS.FAJAR.CO.ID - Balai Prasarana dan Pemukiman Maluku akhirnya mengaku salah. Anggaran proyek sudah cair 100 persen, tapi hingga 2023 proyek tak kunjung selesai. Bahkan kini tak bisa digunakan.

Proyek ini dibiayai lewat APBN tahun 2021-2022 senilai Rp 24,5 miliar. PT Wira Karsa Konstruksi, ditunjuk mengerjakan 13 sekolah SD dan SMP di SBB. Batas waktu penyelesaian pekerjaan pada Desember 2022 lalu.

Hingga Desember 2022 berlalu, namun masih ada 2 sekolah yakni SD Negeri Tiang Bendera dan SMP Negeri 3 Huamual Belakang yang belum tuntas dikerjakan.

PPK Balai Prasarana Pemukiman Wilayah Maluku, Iwan mengaku, persoalan terbengkalainya pekerjaan tersebut karena pihak kontraktor dan PPK sebelumnya mengabaikan tanggungjawabnya. Disatu sisi anggaran proyek tersebut sudah dicairkan 100 persen oleh mereka.

Iwan membeberkan, dugaan ketidakberesan proyek tersebut sudah terjadi pada masa PPK lama dipimpin Fadli tahun 2021. Sementara dirinya baru ditunjuk menggantikan Fadli sebagai PPK diproyek tersebut pada akhir 2021. Dimana saat itu anggaran proyek tersebut sudah dicairkan oleh PT. Wira Karsa Konstruksi 100 persen.

Bukan hanya itu, beber dia, PPK lama masih Fadli juga meninggalkan hutang kepada pihak rekanan yang mensuplai logistik bangunan sebesar Rp 900 juta.

Diketahui, saat itu PPK yang sebelumnya dengan PT Wira Karsa Konstruksi telah menggandeng salah satu pengusaha lokal di SBB untuk menyuplai logistik. Pengusaha tersebut diketahui bernama Rahmat Basiha yang juga anggota DPRD SBB.

" Rahmat Basiha merupakan korban dari Fadli selaku PPK sebelumnya. Rahmat bekerja dengan Fadli dalam menyuplai material untuk pekerjaan proyek tersebut, " jelas Iwan.

Hutang Rp 900 juta itu, akui dia, baru terungkap setelah Rahmat mengadu ke Balai Pemukimam terkait pembayaran harga material yang telah disuplai untuk pekerjaan proyek tersebut. "Saat itu baru Rp 800 juta yang dilunasi, masih ada Rp 100 juta yang belum," bebernya.

Atas persoalan tersebut, ia mengaku bersama salah satu elit di Kejati bernama Sunoto pernah mengunjungi PT Wira Karsa Konstruksi untuk mencari solusi terhadap penyelesaian proyek tersebut. Kemudian dari hasil pertemuan tersebut dibuatlah kesepakatan bahwa haji Amir sebagai Direktur PT Wirakarsa memberikan kuasa kepada Direksi Darson Basiha untuk menyelesaikan sisa pekerjaan proyek.

Dalam kelanjutan pekerjaan proyek tersebut, Rahmat Basiha diberikan tanggungjawab untuk menyuplai material karena sebelumnya dia sebagai penyuplai meterial.

" Jadi sebenarnya Rahmat Basiha ini bukan kontraktor di proyek tersebut. Dia justeru korban dalam proyek ini. Keterlibatan dia hanyalah sebagai penyuplai material. Dan harga meterialnya masih tersisa di Fadli sebesar Rp 100 juta," bebernya.

Juga, kata dia, semenjak berhentinya Fadli sebagai PPK dari proyek tersebut beberapa pekerjaan penunjang seperti pembangunan pagar, WC dan lain - lain dijadikan pekerjaan diluar kontrak dan didanai biaya tambahan tetapi tidak di akomodasi oleh Kementerian PUPR.

" Nah pertanyaannya, ketika saya putus kontrak dalam kondisi seperti saat ini, Apakah pekerjaan tersebut dapat diselesaikan atau tidak. Secara administrasi saya sudah melanggar, tetapi saya tetap berniat untuk meminjam uang demi menyelesaikan pekerjaan tersebut meskipun secara perlahan - lahan. Saya sudah meminjam anggaran sebesar Rp 1 miliar lebih untuk menutupi gaji para pekerja dan tukang, dan sekarang hanya tinggal bangunan penunjang seperti pagar, WC dan musholah, " tandasnya. (AKS)

  • Bagikan