AMBON, AMEKS.FAJAR.CO.ID — Deklarasi masyarakat hukum dan pembentukan kewang sebagai lembaga adat negeri Luhu dan 18 petuanan, Kecamatan Huamual, Kabupaten Seram Bagian Barat, cacat secara hukum.
Kuasa Hukum Raja Negeri Luhu, H.Abdul Gani Kaliky, Sutriyono Mohamadi kepada media ini, Sabtu (9/12/2023), mengatakan
deklarasi yang mengatasnamakan masyarakat hukum adat negeri Luhu tanpa diketahui oleh Upu Latu Negeri Luhu dan petuanan, tidak memiliki legal standing atau error in persona.
Menurut Sutriyono, jika merujuk tentang mekanisme pembentukan lembaga adat sesuai dengan amanat Undang - Undang nomor 15 tahun 2015 tentang desa ayat 1 menyatakan bahwa pemerintah desa dan masyarakat desa dapat membentuk lembaga adat.
“ Dari penjelasan diatas memberikan gambaran bahwa lembaga adat dan struktur – strukturnya diatur dan untuk mendapatkan legitimasi secara yuridis, harus melalui persetujuan kepala desa,” ucap Sutriyono.
Sutriyono berpendapat, persoalan adat tidak dapat di deklarasikan secara sepihak. “ Selaku kuasa hukum, saya pertanyakan dimanakah legalitas mengenai deklarasi KMHA terhadap pelantikan kewang dan petuanan di Negeri Luhu? ,” tanya dia.
Mestinya kata dia, wadah yuridis normatif pembentukan lembaga adat harus di ketahui dan sepakati oleh pemerintah desa dalam hal ini raja negeri Luhu, melalui kesepakatan bersama antara masyarakat adat dan raja negeri Luhu.
Artinya lanjut dia, segalah sesuatu yang berkaitan dengan pembentukan lembaga adat, seyogianya dapat diketahui oleh Pemerintah Desa atau Upu Latu Negeri Luhu sesuai dengan pasal 95 ayat 1.
Dia menambahkan, dalam hukum semuanya telah diatur Das Sein dan Das Sollen bahwa segala peraturan dan bentuk kegiatan harus lebih mementingkan kedamaian dan ketertiban untuk masyarakat.
“ Saya kuatir dengan deklarasi KMHA dan pelantikan kewang dapat menciptakan sekat dan jurang pemisah antara masyarakat itu sendiri. Olehnya itu, saya meminta kepada masyarakat Negeri Luhu dan petuanan agar tidak terprovokasi dengan berbagai kegiatan yang dilakukan oleh kelompok yang mengatasnamakan lembaga adat,” tandasnya.
Sementara itu, Kuasa Hukum Saniri Negeri Luhu, Marsel Maspaitella berpendapat status Abdul Gani Kaliky sebagai Raja perlu diluruskan sesuai dengan ketentuan Perda nomor 10, Perda Nomor 11 tahun 2019 dan Perda Nomor 12 tahun 2019 tentang Pemilihan Kepala Desa (Pilkades), tentang Desa dan BPD dengan rujukan pada Peraturan Bupati Kabupaten Seram Bagian Barat nomor 2 tahun 2020 tentang pelaksanaan pilkades serentak.
Menurut Maspaitella, Abdul Gani Kaliky ikut serta dalam proses pilkades dan diusulkan oleh BPD serta dilantik dengan SK bupati sebagai Kepala desa, sedangkan Raja atau kepala Pemerintahan Negeri mengacu pada Perda Kabupaten SBB nomor 13 tahun 2019 tentang Negeri, dan Perda Kabupaten SBB nomor 14 tentang Saniri Negeri.
“ Sangat jelas yang di maksud Raja atau Kepala Pemerintah Negeri di angkat dari Matarumah Parentah melalui musyawarah Matarumah Parentah kemudian diusulkan oleh Saniri Negeri untuk di sahkan oleh Bupati,” kata Marsel.
“Sebab proses pengangkatan Raja mengacuh pada Perda Nomor 13 dan Perda 14. Sedangkan proses pilkades mengacuh pada Perda nomor 10 dan Perda 11 tahun 2019, sehingga hasil yang di lahirkan oleh Perda yakni mekanisme kewenangan Kepala Desa dan Raja atau Kepala pemerintahan Negeri terpisah secara hukum,” tambah dia.
Selain itu, kata dia, status Abdul Gani Kaliky adalah Kepala Desa bukan Raja. Hal tersebut dapat dibuktikan bahwa hingga saat ini belum ada Raja di Negeri Luhu yang di hasilkan dari mekanisme Adat Pengangkatan Raja dari Matarumah Parentah, dan diusulkan oleh Saniri kepada Bupati sebagaimana diatur dalam Perda Nomor 13 tahun 2019 dan Perda 14 tahun 2019 tentang negeri dan saniri Negeri.
Dengan demikian, kata dia, apa yang dilakukan oleh Saniri Negeri Luhu tidak ada yang salah. Disisi lain, jika berbicara dalam konteks Pelantikan dan Pengukuhan Kepala Kewang Negeri Luhu harus dengan persetujuan Kepala Desa Luhu tentunya tidak ada dasar hukumnya.
“ Kades Luhu tidak memahami aturan main dalam kapasitas yang bersangkutan sebagai kepala desa, dan tidak bisa pakai dasar putusan TUN yang objek sengketa Kepala Desa kemudian di klaim putusan sengketa Raja Luhu merupakan suatu hal yang keliru. Dimana sengketa yang di aduhkan ke Pengadilan Tata Usaha Negara adalah sengketa Kepala Desa Luhu bukan sengketa Raja Luhu.
“ Olehnya itu, saya mengimbau kepada pihak – pihak yang merasa dirugikan oleh keputusan saniri Negeri Luhu tentang pengangkatan Kewang adat Negeri Luhu silakan mengajukan Gugatan Ke Pengadilan, sebab keputusan Saniri Negeri Luhu sesuai mekanisme dan sah secara hukum serta pelantikan tersebut berjalan aman dan damai, sehingga menciptakan opini sesat di kalangan masyarakat, “ pintanya. (AKS)