Ambon,AMEKS.FAJAR.CO.ID.- Abdul Halik Roroa merasa diperlakukan tidak adil dalam proses penyelidikan hingga penyidikan terkait laporan dugaan ijazah palsu milik HR, di Polres Tual. Karena itu, dia meminta adanya campur tangan Kapolda Maluku, Irjen Pol. Edi Sumitro Tambunan.
Kuasa hukum Halik, Lukman Matutu, meminta Kapolda melakukan evaluasi terhadap proses penyidikan laporan dugaan ijazah palsu yang disampaikan kliennya, Abdul Halik Roroa. Pasalnya, hingga kini tak ada lagi perkembangan penanganannya.
"Klien saya sebagai korban atas dugaan kriminalisasi yang telah di lakukan oleh Polres Tual atas waktu pengaduan terhadap HR dalam penggunaan ijazah palsu," kata Lukman Matutu kepada wartawan di Ambon, Rabu (11/9/2024) malam.
HR sendiri, adalah Ketua DPC Demokrat Kota Tual. Anggota DPRD setempat, dan juga anggota DPRD Maluku terpilih, dari daerah pemilihan Kota Tual, Maluku Tenggara, dan Aru.
HR dilaporkan oleh Abdul Halik Roroa ke Polres Maluku Tenggara. Kasus ini kemudian dilimpahkan ke Polres Tual, setelah adanya pemekaran Polres. Setelah ditangani, HR melapor balik Roroa atas pencemaran nama baik, dan penyebaran fitnah.
Fakta hukum, kata Lukman, ada dengan pertimbangan hukum Majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) Tual dalam perkara 10/G/PNTL - Tahun 2023. Dimana, kata Dia, Roroa saat melapor, kapasitasnya sebagai seorang advokat yang kerjanya dilindungi Undang-Undang.
"Sehingga laporan itu tidak bisa di jadikan sebagai alasan bahwa yang bersangkutan melakukan tindakan pidana, menfitnah atau menista sebagaimana laporan yang disampaikan oleh Hasim Rahayaan," kata Lukman.
Dalam laporan yang di buat kliennya, HR menggunakan ijazah tidak dengan melalui proses akademik sebagai mana diamanatkan Undang - Undang, Tentang Pendidikan Nasional dalam Pasal 68 ayat (2).
“Dimana ayat pasal tersebut menjelaskan gelar akademik disandang HR diperoleh tanpa melalui mekanisme atau proses pendidikan, layaknya dilakukan oleh seorang Mahasiswa hingga menyandang gelar Sarjana,” kata Lukman.
Anehnya, kata dia, Polres Tual menggiring perkara tersebut seakan - akan laporan ke Pasal 263 dalam KHUP. Padahal dalam hukum pidana itu sendiri,tambah dia, jika dalam satu perbuatan pidana terdapat dua aturan hukum yang mengatur, maka berlakulah hukum yang bersifat khusus atau Lex Specialis Derogat Generali.
"Itu yang harus di perlakukan. Tetapi pihak penyidik di mengunakan Undang - Undang khusus. Untuk itu, sebagai kuasa hukum Abdul Halik Roroa Saya menganggap penyedik Polres Tual punya pemahaman hukum yang keliru," kata Lukman.
Karena itu, lanjut dia, penyidik berkisempulan, laporan kliennya tidak cukup bukti. Padahal, kata Lukman, mereka justru yang berskenario, sehingga laporan tersebut tidak memenuhi syarat hukumnya.
"Sangat di sayangkan bahwa surat keterangan yang dikeluarkan Universitas, itu berdasarkan surat yang di minta Polres Kota Tual untuk membenarkan terlapor sebagai alumni," kesal Lukman.
Seharusnya, tandas dia, yang dimintakan yakni syarat - syarat seseorang mengikuti pendidikan memperoleh gelar sarjana. Bukan sebaliknya, Polres Tual meminta surat keterangan bahwa HR benar - benar alumni.
"Itu kan aneh. Yang dilaporkan itu ijazah palsu, bukan dia tidak pernah berkuliah di universitas tersebut, lalu diminta surat alumni kampus tersebut. Harusnya yang diminta apakah benar, HR sudah menerima ijazah ataukah tidak sama sekali,” kata Lukman.
Abdul Halik Roroa, mengatakan HR mengajukan laporan balik ke Polres atas laporan nomor 137, yang disebutnya menuduh mencermarkan nama baik, menghina atau memfitnah.
"Laporan pokok dengan nomor 137 belum punya putusan tetap, tetapi sudah menerima laporan balik terkait dugaan pencemaran nama baik, dan Saya ditetapkan sebagai tersangka. Dari saksi menjadi tersangka, tersangka menjadi terdakwa, Saya ikuti itu," jelas Roroa.
" Putusan Pengadilan Tual, Saya lepas dan bebas dari segala tuntutan hukum, karena tidak terbukti Saya melakukan penghinaan atau fitnah terhadap HR. Dalam putusan itu, meminta agar mengembalikan harkat dan martabat Saya seperti semula," kata Roroa.
Jaksa dan Hasim Rahayaan tidak menerima itu, kemudian mengajukan Kasasi. Namun Mahkamah Agung justru memperkuat putusan pengadilan Negeri Tual dan kemudian putusan tersebut mempunyai kekuatan hukum tetap.
Dengan perkara dengan mempunyai kekuatan hukum tetap itu, Roroa kemudian mengajukan pengaduan ke Polres. Dengan pengaduan memfitnah dan menghina dirinya, atas dasar putusan Pengadilan Tual. Kemudian Polres tindak lanjut dengan semua bukti diajukan, saksi hadirkan.
"Bukti sudah ajukan. Tetapi kelihatannya, tidak jalan secara sempurna. pengaduan pertama tentang mengembalikan harkat dan martabat Saya berdasarkan putusan berkekuatan hukum tetap. Kemudian Saya mengajukan laporan Kedua tentang, dugaan Ijazah Palsu yang dia (HR) milik," akui Roroa.
Hanya saja laporan pengaduanya dimentahkan penyidik Polres Tual. Roroa kemudian kembali mengadukan penanganan kasus dilaporkan ke Propam Polda Maluku, termasuk Mabes Polri sehingga diterbitkan surat SP2HP2 yang memerintahkan Polres Tual untuk mengangkat kembali Pengaduan Roroa dengan dugaan Ijazah Palsu, dengan menggunakan pasal 68 ayat (2).
Kemudian butir kedua menyatakan bahawa, Salmon Kate sebagai Penyidik agar diproses hukum karena melanggar kode etik. Anehnya, kasus kode etik jalan. Namun, laporan pokok 137 terkait ijazah Palsu yang dimilik HR diterlantarkan, dan tidak jalan.
"Padahal akibat Dari perbutan itulah kemudian Salmon Kate selaku penyidik diproses kode etik. Kenapa perkara pokok tidak jalan. Bukti permulaan yang Saya ajukan berdasarkan putusan Pengadilan Tual dan Mahkama Agung (MA) itu syarat bukti dalam pertimbangan bahwa itu bukti yang cukup dalam pengaduan Saya,” kata Roroa.(Elyas Rumain)