Ambon, AMEKS.FAJAR.CO.ID - DPRD Maluku mendorong penegak hukum mengusut dugaan korupsi pada kerja sama antara Pemerintah Provinsi (Pemprov) Maluku, dan PT Bumi Perkasa Timur (BPT) terkait pengelolaan dan pemanfaatan rumah toko atau ruko di kawasan Pasar dan Terminal Mardika.
Diiketahui, kurang lebih ada 140 ruko dan sejumlah bidang tanah di kawasan Pasar rakyat Tradisional Mardika, yang dipercayakan untuk dikelola oleh PT. BPT.
Selama mendapat amanah mengelola ruko, PT BPT diketahui mematok harga selangit kepada para penghuni ruko. Angkanya mencapai Rp1.3 miliar per ruko untuk sewa 15 tahun terhitung dari 2020 hingga 2025.
Angka tersebut bagi penyewa terbilang cukup mahal. Pasalnya, sebelum ditangani PT BPT saat ini, penyewa ruko yang notabenenya adalah pengusaha dan pedagang hanya menyetor Rp28,5 juta kepada Pemprov per tahun sejak 2017 hingga 2020.
Dalam prosesnya, sejumlah penyewa tidak punya banyak pilihan. Mereka terpaksa harus mengikuti aturan PT BPT karena kerap diintimidasi.
Alhasil, sejauh ini uang yang sudah masuk ke PT BPT diketahui mencapai Rp 18 miliar. Namun mirisnya, perusahaan yang dipimpin Muhammad F.G. Thiopelus alias Kipeuw, itu lupa akan kewajiban mereka dalam hal menyetor ke Pemprov Maluku.
Dari belasan miliar rupiah yang diterima itu, PT BPT diketahui baru menyetor kurang lebih Rp 5 miliar kepada Pemprov Maluku. Itu berarti mereka saat ini meraup untung sekitar Rp 13 miliar.
Hal itu yang membuat banyak pihak geram. Sehingga sekarang Panitia Khusus (Pansus) DPRD Maluku, sedang “bergerilya” mengungkap semua kebobrokan dari kerja sama tersebut.
Rapat-rapat guna mencari titik temu menyelesaikan masalah tersebut sering dilakukan antara Pansus dan penyewa ruko, serta BPT. Tapi anehnya tak pernah dihadiri oleh orang-orang Bumi Perkasa Timur.
Terbaru, rapat digelar oleh Pansus yang dipimpin oleh Richard Rahakbauw, Senin (6/11) kemarin itu, lagi-lagi tak diindahkan untuk dihadiri oleh pihak PT.BPT.
Rapat yang dihadiri Biro Hukum dan Aset Daerah Pemerintah Provinsi Maluku di ruang Paripurna DPRD Provinsi itu juga sempat ricuh setelah sejumlah penyewa ruko mengamuk.
Usai keributan terjadi, dan rapat pun selesai, Wakil Ketua Pansus Pasar Mardika, Jantje Wenno menegaskan, perjanjian kerja sama antara PT BPT-Pemprov Maluku soal pengelolaan dan pemanfaatan ruko harus dibatalkan.
“Perjanjian kerja sama (PKS) ini memang harus di- batalkan, karena kami sudah meminta para ahli hukum perdata dari Unpatti Ambon untuk melihat itu, memang perjanjian kerja sama ini se- jak kelahirannya itu sudah dianggap tidak memenuhi syarat formil maupun syarat materil,”terangnya.
Coba bayangkan, lanjut Wenno, bagaimana mungkin BPT yang sudah menagih kurang lebih Rp 18 miliar, tapi baru menyetor Rp 5 miliar ke Pemprov.
“Jadi perjanjian ini memang betul-betul perjanjian kerja sama yang 'disetting' dan dibuat, jadi mengandung unsur kolusi dan korupsi, karena didesain sedemikian rupa lalu mereka meman- faatkan kerja sama itu untuk mengeruk keuntungan yang sebesar-besarnya,”tegasnya.
“Contohnya, bagaimana mungkin pemilik (Pem- prov) menerima 25 persen lalu mereka yang bekerja (PT BPT) menikmati sam- pai dengan 75 persen. Ini model perjanjian seperti apa,”sambungnya.
Karena itu, DPRD Maluku mendesak aparat penegak hukum untuk dapat mengusut kasus yang diduga mengandung unsur tindak pidana korupsi tersebut.
“DPRD akan buat laporan sekaligus rekomendasi. Dan rekomendasi itu, kami akan mengarahkan kepada aparat penegak hukum un- tuk mengungkap ini. Sebab ini kejahatan paling besar yang terjadi dengan memanfaatkan perjanjian kerja sama yang akal-akalan itu,”tandasnya.(Zainal Patty)