Guru Besar Unpatti Bicara Pendidikan Maluku: Persoalan Kita ada Kebijakan yang Tidak Benar

  • Bagikan
pemilihan rektor unpatti
Gedung Kampus Unpatti

Ambon, AMEKS.FAJAR.CO.ID - Kebijakan pendidikan di Maluku harus diubah, kalau tidak ingin daerah ini tertinggal dari sisi pendidikan. Guru besar baru di Universitas Pattimura, menawarkan satu model Manajemen daerah kepulauan, untuk mengatasi ketertinggalan di dunia pendidikan ini.

Hal ini disampaikan Prof. Dr. Abednego, M.Pd dalam pidato pengukuhan sebagai guru besarnya, Senin (2/10/2023). Pidatonya, tentang "Model Manajemen Pendidikan di Daerah Kepulauan”.

Menurut guru besar FKIP Unpatti ini, di Maluku ini, persoalan kebijakan pendidikan yang tidak benar.

"Dengan itu saya memberikan satu model manajemen di daerah kepulauan, yaitu model perencanaan pratisipatif dan model manajemen kurikulum yang pembelajarannya nanti brended plening dan itu lebih ke sistem internet tidak perlu banyak guru,” tandasnya.

Di Alaska, Negara bagian Amerika, kata Obednego, model pendidikannya berhasil, karena kurikulum yang diterapkan sangat fleksibel. Yang mana hanya dianjurkan bagi anak-anak daerah menggali potensi sosial, ekonomi di daerah sendiri dan dikembangkan, sehingga sekolah utamanya pemimpin pendidikan, dalam menyusun perencanaan jangka panjang, itu sesuai dengan komptensi, SDA, sosial dan ekonomi di daerahnya.

"Dan setiap siswa siswi dianjurkan praktek di daerahnya sesuai bidang ilmu yang diambil. Bahkan praktek lebih banyak dari teori. Sehingga ketika mereka selesai pendidikan, mereka yang justru ditawarkan bekerja. Dan itu berhasil,”ujarnya.

Kemudian di Filipina, modenya sama dengan di Indonesia, dimana pendidikan non formal sangat baik, mereka tidak banyak lanjut ke Perguruan Tinggi tetapi langsung ke pendidikan non formal, seperti kursus dan sebagainya kemudian memberdayakan diri dari situ.

Dan Indonesia, seperti di Pangkajeni, Sulawesi Selatan, dia merupakan daerah kepulauan sama seperti Maluku, bahkan disana, jarak tempuh dari pusat Kecamatan ke sekolah, kurang lebih 3 jam perjalanan.

Itu artinya, lanjut Abednego, kendala pada transportasi, sehingga untuk menjembatani itu, diprogramkan sekolah perahu. Namun persoalannya soal guru, karena setiap perahu harus ada guru.

Dengan itu, menurut Abednego, diprogramkan, bahwa tidak hanya guru yang mengajar, tetapi juga masyarakat yang punya kompetensi untuk bisa mengajar. Dan ini berjalan disana. Dan untuk Maluku menurutnya, sejauh ini tidak ada interfensi khusus tentang anak-anak sekolah di daerah terpencil.

Di Maluku lebih menginginkan sentralistik dimana dalam prakteknya, guru-guru lebih mau melakukan study banding ke luar, Jawa, Makassar dan sebagainya hanya untuk copy RTP, visi-misi sekolah tertentu kemudian kembali.

"Ini yang justru menjadi persoalan kita. Jadi yang seharus nya Kepsek yang merencanakan visi-misi dengan kebutuhan, justru itu tidak berjalan disini. Ini juga problem karena Kepala Sekolah disini tidak memiliki kompetensi manajerial,” kata Obednego.

“Disini justru Kepala Sekolah baru melanjutkan kerja Kepsek sebelumnya, yang dikerjakan hanya kerja rutin. Hanya tanda tangan surat dan sebagainya tidak memikirkan pengembangan sekolah, yang ditempatkan adalah mereka kebanyakan balas jasa politik,”cetusnya.(yani)

  • Bagikan