Hari Ini Unpatti Kembali Miliki Lima Guru Besar

  • Bagikan
pemilihan rektor unpatti
Gedung Kampus Unpatti

AMBON, AMEKS.FAJAR.CO.ID -Universitas Pattimura (Unpatti) kembali memiliki lima guru besar. Pengukuhan dilakukan, Senin (17/7/2023). Mereka mengangkat berbagai permasalahan dalam pidato pengukuhan.

Pengukuhan lima guru besar tersebut akan dilakukan melalui Rapat Terbuka Luar Biasa Senat Universitas Pattimura, Senin (17/7), hari ini. Lima guru besar yang dikukuhkan adalah guru besar bidang ilmu Sosiologi pada fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP, Prof. Dr. Elsina Titaley, M. Si, guru besar bidang ilmu hukum pada Fakultas Hukum, Prof. Dr. La Ode Angga, S. Ag., S.H., M. Hum, guru besar bidang ilmu Kelautan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan (FPIK), Prof. Dr. Ir. Yuliana Natan, MSi, guru besar bidang ilmu hukum pada Fakultas Hukum, Prof. Dr. Adonia Ivonne Laturette, S.H. , M.H, dan guru besar bidang ilmu hukum, Prof. Dr. Jantje Tjiptabudy, SH. M.Hum.

Ketua Senat Unpatti, Prof. Dr. S. E. M. Nirahua mengatakan, dengan bertambahnya empat guru besar ini, total guru besar yang ada di Universitas Pattimura Ambon berjumlah 87.

"Yang terdiri dari guru besar yang telah meninggal meninggal 16, guru besar yang pindah 1 orang, yang pensiun tujuh orang 7 dan yang aktif 58 orang. Dan ini pertama kalinya, Unpatti mengkukuhkan lima guru besar sekaligus," katanya kepada Ambon Ekspres saat ditemui di ruang auditorium, Minggu (16/7).

Kemiskinan Hingga Otda

Selain dikukuhkan, lima guru besar tersebut juga bakal menyampaikan pidato pengukuhan dengan beragam permasalahan. Mulai dari kemiskinan di Maluku penerapan otonomisasi daerah (Otda) yang maksimal.

Profesof Elsina Titaley, mengangkat tema "Pengentasan Kemiskinan di Maluku". Tema ini, menurut Elsina, sangat relevan dengan kondisi Maluku yang masih terpuruk di urutan empat provinsi termiskin di Indonesia.

Elsina menjelaskan, banyak orang terutama mereka yang telah lama hidup ditimpa dengan situasi miskin. Kelompok ini tidak lagi menganggap kemiskinan sebagai sesuatu yang menakutkan, sudah kurang peduli, walaupun begitu banyak akibat buruk yang dihadapi oleh karena kemiskinan.

Seharusnya tidaklah demikian, oleh karena kemiskinan menunjuk pada suatu keadaan bermasalahnya, terpuruknya atau menderitanya umat manusia. Kemiskinan sebagai permasalahan kemanusiaan yang sangat kompleks baik, dari penyebab maupun akibatnya.

Kemiskinan telah menjadikan ratusan juta umat manusia di muka bumi ini berada dalam beban hidup sedemikian berat. Seharusnya, semua umat manusia baik yang tergolong dalam kategori miskin maupun miskin ekstrem, juga yang tergolong dalam kategori tidak miskin, terutama para ilmuwan terlebih para sosiolog berkewajiban mencari jalan keluar bagi penanggulangan dan pengentasannya.

Olehnya itu, kata dia, kemiskinan mesti menjadi isu sentral untuk dientaskan melalu kebijakan pembangunan, program dan pelaksanaannya oleh seluruh komponen masyarakat dan pemerintah atau negara secara terencana dan sistematis.

Dalam pidato pengukuhannya ini, Elsina berusaha menyampaikan ide sebagai solusi pengentasan kemiskinan di Maluku. Bukan untuk waktu sesaat namun berkelanjutan dari generasi ke generasi selamanya, dengan kualitas manfaat yang terus meningkat.

"Saya berusaha menganalisis pengentasan kemiskinan dengan potensi lokal masyarakat adat Maluku yakni Saniri Negeri dan Sagu. Mungkin ada yang menganggap gagasan saya ini sangat sederhana, tidak berbobot dan dapat dipandang sebagai lelucon, oleh karena telah banyak gagasan besar yang sudah disampaikan dan telah diikuti dengan berbagai kebijakan. Tapi faktanya, seakan sia-sia," ujarnya.

Lebih lanjut, dikatakan, Provinsi Maluku kaya akan berbagai potensi lokal. Potensi lokal sebagai bentuk kearifan lokal masyarakat Maluku dapat digolongkan antara lain dalam potensi budaya, yakni nilai-nilai budaya dan lembaga-lembaga pemerintahan adat secara terstruktur dan non struktur yang terpelihara dan dipertahankan selama ini sejak leluhur.

Nilai-nilai dimaksud mengkonstruksikan kedalaman batin dan keluasan wawasan, serta keunikan diri komunitasnya yang bersifat primer dan tidak ada duanya.

"Dari berbagai potensi kultural terkhusus potensi struktural pemerintahan adat, saya hanya mengambil satu dari yang ada yakni Saniri Negeri karena memiliki peran yang sangat penting dan menentukan di negeri. Banyak hal yang dapat dilakukan oleh dan melalui Saniri Negeri," jelasnya.

Sementara itu, Profesor La Ode Angga, dalam pemaparan pidatonya, yang berjudul "Prinsip kehati-hatian (Precautionary Principle) dalam pengelolaan Blok Masela", mengatakan, pasal 2 huruf f UUPPLH-2009 menyatakan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dilaksanakan berdasarkan asas kehati-hatian.

"Penjelasan atas UUPPLH-2009 pasal demi pasal, menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan “asas kehati-hatian” adalah bahwa ketidakpastian mengenai dampak suatu usaha atau kegiatan karena keterbatasan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi bukan merupakan alasan untuk menunda langkah-langkah meminimalisasi atau menghindari ancaman terhadap pencemaran atau kerusakan lingkungan hidup,"jelasnya.

Prinsip kehati-hatian dalam mengelola lingkungan hidup telah diadopsi secara global dan telah menjadi Prinsip 15 Deklarasi Rio tentang lingkungan dan pembangunan yang disepakati oleh semua negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada tahun 1992. Isinya untuk melindungi lingkungan.

Pendekatan kehati-hatian, kata Angga, harus diterapkan secara luas oleh negara-negara sesuai dengan kemampuannya. Jika ada ancaman kerusakan serius yang tidak bisa diubah, kurangnya kepastian ilmiah, kegiatan ekonomi tidak boleh dipakai sebagai alasan menunda langkah-langkah hemat biaya untuk mencegah degradasi lingkungan.

Prof. Dr. Ir. Yuliana Natan, MSi, dalam pemaparan pidatonya, yang berjudul, "Penguatan kapasitas lembaga pengelolaan sumberdaya perikanan berbasis kearifan lokal di Maluku menuju pengelolaan berkelanjutan", mengatakan, batasan tentang konsep kearifan local (loca/ wisdom atau Indigenous knowledge) dalam pengelolaan sumberdaya alam.

"Jauh sebelum berkembangnya ilmu pengetahuan modern yang secara umum dikategorikan masih relatif baru, masyarakat lokal (indigenous people) telah mengembangkan pengetahun mereka untuk mengetahui bagaimana mereka harus bertahan hidup (survive) dan juga mengenai arti, tujuan, dan nilainilai atau norma," katanya.

Lebih lanjut, dikatakan, untuk jangka waktu ribuan tahun masyarakat lokal sudah mengerti bagaimana menjaga lingkungan alam mereka. Dalam konsep mereka, kalau mereka kehilangan akal budi (wisdom) mereka akan kehilangan sumberdaya alam mereka dan mereka akan terancam. Sudah menjadi pemahaman bersama saat ini bahwa jenis pengetahuan semacam ini diketagorikan sebagai 'kearifaan lokal (indigenous knowledge), pengetahuan tradisioal, pengetahuan lokal, pengetahuan ekologi tradisional , dan sebagainya.

"Konsep semacam ini seringkali oleh kalangan dunia barat dianggap berlawanan, atau paling tidak sangat berbeda dari dunis barat tentang bagaimana menghasilkan, mencatat, dan metransformasikan pengetahuan,” kata dia.

Kearifan lokal atau pengetahuan lokal adalah pengetahuan yang secara unik dimiliki oleh masyarakat lokal yang diperoleh melalui akumulasi pengalaman-pengsalaman, penelitian yang bersifat Informal, dan pengetahuan yang dalami tentang Iingkungan dimana mereka berada.

“ Kearifan lokal adalah pengetahuan yang dimiliki oleh masyarakat tertantu yang memperihatkan pengalaman masyarakat tersebut yang diperoleh berdasarkan kebiasaan tradisional termasuk juga pengalaman-pegalaman yang berhubungan dengan teknologi modern," ungkapnya.

Prof Adonia Ivonne Laturette dalam pemaparan pidatonya yang berjudul, "Hak pengelolaan yang berasal dari tanah ulayat masyarakat hukum adat untuk kepentingan investasi", mengatakan, tanah mempunyai arti yang sangat penting bagi kehidupan manusia dan pembangunan sebagai sarana utama.

"Setiap orang tentu memerlukan tanah untuk hidup dan kehidupan. Oleh karena itu tanah mempunyai kedudukan yang strategis bagi kehidupan ekonomi. Tanpa tanah tidak mungkin ada pembangunan infrastuktur, industri, perumahan, pariwisata maupun perkebunan dalam skala besar," ungkapnya.

Dalam lingkungan masyarakat adat, jelas dia, tanah sangat istimewa kedudukannya, sebagai tempat mendirikan bangunan, tempat mencari makan, tempat manusia dikuburkan karena itu mempunyai nilai spiritual dimana mereka dapat berhubungan dengan leluhurnya. Tanah dipandang sebagai sesuatu yang sangat berharga dan harus dipertahankan oleh masyarakat adat.

"Tanah adat adalah tanah milik masyarakat hukum adat. Dalam kenyataan antara masyarakat hukum adat dengan tanah yang didudukinya mempunyai hubungan yang erat sekali dan tidak dapat dilepas pisahkan. Tanah sangat dihargai oleh masyarakat hukum adat dan tetap dijaga dan dihargai. Upaya kemaslahatan fungsi tanah bagi masyarakat termasuk masyarakat hukum adat tidak terlepas dari berbagai pertimbangan religius, sosial dan ekonomis," pungkasnya.

Prof. Jantje Tjiptabudy mengangkat tema "Penerapan asas desentralisasi asimetris dalam mewujudkan otonomi daerah yang berkeadilan". Dia mengungkapkan, sebagai suatu negara kesatuan, Indonesia menganut asas desentralisasi yang dimplementasikan dalam bentuk otonomi daerah.

Dalam hal ini pemerintah pusat mempunyai wewenang untuk menyerahkan sebagian kekuasaannya kepada daerah berdasakan hak otonomi sebagaimana diatur dalam pasal 18 ayat (5) UUD NRI Tahun 1945. Berdasarkan pasal 18 UUD NRI Tahun 1945, yang kemudian dijabarkan dalam UU Nomor 23 thn 2014 tentang Pemerintahan Daerah merumuskan desentralisasi sebagai penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara kesatuan RI (Pasal 1 ayat (8) UU No. 23 Thn 2014).

Dia menambankan, dalam pedelegasian kewenangan berdasarkan asas desentralisasi ditinjau dari Implementasi praktis di daerah dapat disederhanakan menjadi tiga kelompok besar, yaitu pendelegasian kewenangan politik, pendelegasian kewenangan urusan daerah, dan pendelegasian kewenangan pengeloloaan keuangan.

"Penjabaran lebih lanjut dari ketiga kewenangan tersebut di dalam UU Nomor 23/2014, tidaklah secara eksplisit memberikan wewenang secara penuh pada daerah yang berkarakteristik akuatik teristerial untuk mendapat perlakuan yang berbeda sesuai dengan karakter wilayahnya," pungkasnya. (LMS)

  • Bagikan