Hoaks dan Golput Dalam Dimensi Demokrasi

  • Bagikan
Jurnalis Ambon Ekspres, Djen Wasolo.

Dewasa ini, dalam catatan Pemilihan Umum (Pemilu) dari tahun ke tahun, sejauh ini dianggap Pemilu 1955 merupakan Pemilu di Indonesia yang paling ideal. Walaupun pada saat itu pertentangan ideologi begitu kuat tetapi bisa dikatakan sangat minim terjadi kecurangan dalam pelaksanaan tahapannya, kalaupun ada gesekan, maka itu terjadi di luar wilayah pelaksanaan Pemilu. Dan itu dianggap sebagai hal yang logis dari pertarungan ideologi saat itu.

Selang beberapa kurun waktu, sejak dilakukan Pemilu, sejumlah lembaga independen yang bergerak untuk menangani Pemilu mulai bermunculan. Kelembagaan Pengawas Pemilu muncul pada pelaksanaan Pemilu 1982, dengan nama Panitia Pengawas Pelaksanaan (Panwaslak) Pemilu. Pada saat sudah mulai muncul distrust terhadap pelaksanaan pemilu.

Munculnya sejumlah lembaga yang mempunyai tugas dan tanggung jawab menjalankan pemilu, sebut saja Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawasan Pemilu (Bawaslu), belum mampu memberikan nilai Pemilu yang berkualitas, dimana KPU dan Bawaslu tumbuh dan berkembang bersamaan dengan sejumlah masalah kian menjadi-jadi.

Salah Satu-satunya, tantangan KPU dan Bawaslu dalam mewujudkan pemilu yang berkualitas adalah, menekan angka Golongan Putih (Golput) dalam pemilu. Dimana kelompok Golput adalah mereka yang memilih untuk tidak melakukan hak memilih dengan alasan tertentu.


Berdasarkan hasil real count dari Komisi Pemilihan Umum (KPU), angka Golput secara umum meningkat dari tahun ke tahun, pada Pemilu tahun 2009, perolehan suara Golput mencapai 29,6 persen. Ini adalah total perolehan suara dari total perolehan seluruh partai. Pada tahun 2014 bedasarkan real count pemilu legislatif, angka Golput cenderung menurun (Nurhasim, 2014 : 4-5) hingga pada 24,89 persen, sementara itu dengan jumlah perolehan terbesar PDIP, hanya sekitar 18,95 persen, ini menunjukkan partai terbesar sekalipun, hanya mampu meraup suara kurang dari 20 persen. (detik.com, di akses pada 12/12/2023).

Lalu bagaimana strategi KPU, Bawaslu, maupun pemangku kepentingan dalam memperkecil angka Golput, sebab bagaimanapun Golput akan menjadi tolak ukur keberhasilan penyelenggara, sebagai wujud demokrasi itu sendiri. Cara yang paling ideal guna minimalisir angka Golput yakni dengan cara menciptakan perisai kesadaran demokrasi yang dimana mampu menangkis sejumlah senjata hoaks.

Golput, Hoaks dan Kesadaran Demokrasi
Pelaksanaan pemilu dari tahun ke tahun, sering bermunculan dengan berbagai penyakit politik, yang telah menjadi kebiasaan yang patut sama-sama kita antisipasi. Politik uang, Golput hingga hoaks menjadi tiga tumpukan kusut demokrasi, yang seharusnya hal itu telah diantisipasi sehingga menampilkan sesuatu yang benar-benar rapih. Tiga hal tersebut, kerap kali dilakukan sebagai bentuk protes hingga ketidakpercayaan sistem demokrasi yang menjadi media pemilihan umum sering dinodai.


Golongan Putih atau selanjutnya disebut sebagai golput, merupakan sebutan yang ditujukan kepada orang yang tidak mau menggunakan hak pilihnya dalam Pemilu. Definisi golput sering pula ditujukan kepada sekelompok orang yang tidak mau memilih salah satu partai peserta pemilu atau salah satu calon peserta pemilu. Pada intinya, golput adalah sebutan yang ditujukan kepada sekelompok orang yang tidak menggunakan hak pilihnya dalam pemilu untuk menentukan pemimpinnya.

Selanjutnya, Priyatmoko mengartikan golput sebagai keengganan masyarakat menggunakan hak pilihnya pada ajang pemilu, baik pemilihan legislatif, pemilihan presiden maupun kepala daerah, yang disebabkan rasa kecewanya pada sistem politik dan pemilu yang tidak banyak memberikan perubahan apapun bagi kehidupan masyarakat.

Masyarakat Antifitnah Indonesia (Mafindo) menemukan 2.330 hoaks selama tahun 2023 dengan hoaks politik sebanyak 1.292, 645 di antaranya adalah hoaks terkait Pemilu 2024. Jumlah hoaks politik itu dua kali lipat lebih banyak dibandingkan hoaks sejenis pada musim Pemilu 2019 sebanyak 644. Persentase hoaks politik tahun 2023 sebanyak 55.5% yang ditemukan Mafindo. Selain menjadi yang tertinggi, juga memposisikan hoaks politik kembali mendominasi topik hoaks pasca-2019. Pada masa pandemi (2020-2022), hoaks politik sempat turun rata-rata di bawah 33%. Pasalnya masif hoaks politik mengganggu demokrasi di Indonesia, mengacaukan kejernihan informasi, dan dapat mengajak orang menolak hasil pemilu. Karenanya upaya komprehensif perlu dilakukan untuk mencegah dan menangani hoaks untuk menjaga kedamaian Pemilu itu sendiri.

Selain opsi ketidakpercayaan yang dapat menimbulkan golput, sebenarnya hoaks juga merupakan rahim murni timbulnya golput. Apalagi dengan kecanggihan teknologi, dengan niat yang negatif saja, seseorang dibekali dengan android dapat menciptakan hoaks yang luar biasa, dan mampu menghipnotis sejumlah orang dengan sekejap.

Hoaks merupakan kanker yang paling berbahaya dalam sistem demokrasi di Indonesia bahkan dunia, atau bisa dibilang hoaks merupakan rayuan syetan demokrasi.

Hoaks paling sering diborong habis oleh mereka yang miskin akan iman demokrasi, atau pengetahuan demokrasi yang mumpuni. Dan mereka yang paling rentan adalah pertama, lansia merupakan orang pertama yang sebenarnya sering menjadi korban atas tindakan hoak, disebabkan orang tua mungkin kurang terbiasa dengan teknologi dan media sosial, sehingga lebih rentan terhadap penyebaran hoaks. Apapun yang mereka dapatkan melalui berbagai plafon media sosial sering paling cepat mempercayai.

Kedua, anak-anak dan remaja, mereka yang kurang berpengalaman dan belum mengembangkan kritisitas informasi dapat lebih mudah percaya pada hoaks. Ketiga masyarakat ekonomi rendah, kelompok dengan akses terbatas ke pendidikan dan informasi mungkin lebih rentan terhadap hoaks.

Keempat, komunitas minoritas atau marginal, kelompok yang mungkin sudah menghadapi stigmatisasi atau diskriminasi dapat lebih rentan terhadap informasi palsu yang dapat memicu ketegangan. Kelima, kurangnya literasi media dan digital, individu atau kelompok yang tidak terbiasa dengan literasi media dan digital cenderung kurang kritis dalam menilai keaslian informasi yang mereka terima.

Disatu sisi yang melemahkan media dan kerja-kerja jurnalis, dimana perasaan ingin tahun lebih cepat, ketimbang dan bersabar kebenaran informasi. Sehingga hoaks dapat merugikan integritas media dan jurnalis karena dapat menyebabkan kehilangan kepercayaan masyarakat pada sumber berita yang sah.

Lemahnya kesadaran masyarakat betapa pentingnya pemilihan umum, sebagai bagian dalam menentukan keterwakilan ide dan gagasan politik. Pemangku kepentingan juga seringkali melakukan konsep yang dianggap sebagai format yang efektif dalam menyadarkan masyarakat, hanya dilakukan guna memenuhi sisi formalitas (memenuhi syarat).

Yang perlu dilakukan oleh para pemangku kepentingan diantaranya, edukasi politik yang efektif, dimana pemangku kepentingan dapat menyampaikan informasi yang jelas dan relevan kepada masyarakat tentang pentingnya partisipasi dalam pemilihan politik dan konsekuensinya terhadap proses demokrasi.


Kepuasan terhadap kandidat atau sistem politik, menangani ketidakpuasan terhadap calon atau sistem politik dengan menyediakan opsi kandidat yang lebih bermakna dan memperbaiki sistem politik agar lebih responsif terhadap kebutuhan masyarakat.

Meningkatkan keterlibatan masyarakat, dimana mendorong partisipasi aktif masyarakat dalam kehidupan politik dan meningkatkan kesadaran akan kekuatan suara mereka dalam proses pengambilan keputusan.


Menyuarakan Konsekuensi Golput memberikan pemahaman yang jelas mengenai konsekuensi dari tidak memilih, baik dalam aspek politik maupun sosial, untuk meningkatkan kesadaran akan pentingnya partisipasi.

Membangun kepercayaan terhadap sistem dimana mampu memperbaiki transparansi, integritas, dan keadilan dalam sistem politik dan pemilihan untuk membangun kepercayaan masyarakat terhadap proses tersebut. Mengatasi tantangan sosial-ekonom yakni menangani masalah-masalah sosial dan ekonomi yang dapat menjadi alasan mendasar seseorang memilih golput, seperti ketidakadilan sosial atau kesenjangan ekonomi.

Yang paling penting adalah untuk bersikap kritis terhadap informasi yang diterima, memverifikasi keaslian informasi sebelum menyebarkannya, dan berpartisipasi dalam literasi media untuk melindungi diri dari dampak hoaks.


Dikutip dari salah satu media, Inisiator Masyarakat Anti-Fitnah Indonesia (MAFINDO) dan Ketua Masyarakat Indonesia Anti hoax Septiaji Eko Nugroho memberikan tips agar masyarakat tidak terjebak dengan berita hoaks. Hal itu disampaikannya dalam acara 'Literasi Cerdas Bermedia Sosial'.

Hati-hati dengan judul provokatif

Berita hoax seringkali menggunakan judul sensasional yang provokatif, misalnya dengan langsung menudingkan jari ke pihak tertentu. Isinya pun bisa diambil dari berita media resmi, hanya saja diubah-ubah agar menimbulkan persepsi sesuai yang dikehendaki sang pembuat hoaks.


Cermati alamat situs

Untuk informasi yang diperoleh dari website atau mencantumkan link, cermatilah alamat URL situs dimaksud. Berita yang berasal dari situs media yang sudah terverifikasi Dewan Pers akan lebih mudah diminta pertanggungjawabannya.

Menurut catatan Dewan Pers, di Indonesia terdapat sekitar 43 ribu situs di Indonesia yang mengklaim sebagai portal berita. Dari jumlah tersebut, yang sudah terverifikasi sebagai situs berita resmi tak sampai 300. Artinya terdapat setidaknya puluhan ribu situs yang berpotensi menyebarkan berita palsu di internet yang mesti diwaspadai.

Periksa fakta
Perhatikan dari mana berita berasal dan siapa sumbernya? Apakah dari institusi resmi seperti KPK atau Polri? Perhatikan keberimbangan sumber berita. Jika hanya ada satu sumber, pembaca tidak bisa mendapatkan gambaran yang utuh.

Hal lain yang perlu diamati adalah perbedaan antara berita yang dibuat berdasarkan fakta dan opini. Fakta adalah peristiwa yang terjadi dengan kesaksian dan bukti, sementara opini adalah pendapat dan kesan dari penulis berita, sehingga memiliki kecenderungan untuk bersifat subyektif.

Cek keaslian foto
Di era teknologi digital saat ini , bukan hanya konten berupa teks yang bisa dimanipulasi, melainkan juga konten lain berupa foto atau video. Ada kalanya pembuat berita palsu juga mengedit foto untuk memprovokasi pembaca.

Cara untuk mengecek keaslian foto bisa dengan memanfaatkan mesin pencari Google, yakni dengan melakukan drag-and-drop ke kolom pencarian Google Images. Hasil pencarian akan menyajikan gambar-gambar serupa yang terdapat di internet sehingga bisa dibandingkan.

Ikut serta grup diskusi anti-hoax

Di Facebook terdapat sejumlah fanpage dan grup diskusi anti-hoax, misalnya Forum Anti Fitnah, Hasut, dan Hoax (FAFHH), Fanpage & Group Indonesian Hoax Buster, Fanpage Indonesian Hoaxes, dan Grup Sekoci.


Di grup-grup diskusi ini, warganet bisa ikut bertanya apakah suatu informasi merupakan hoax atau bukan, sekaligus melihat klarifikasi yang sudah diberikan oleh orang lain. Semua anggota bisa ikut berkontribusi sehingga grup berfungsi layaknya crowdsourcing yang memanfaatkan tenaga banyak orang.

Apabila masih kurang? Tips dari The Washington Post di bawah ini bisa juga dijadikan sebagai pelajaran: Pertama, Banyak orang sebenarnya tidak membaca konten yang mereka bagikan. Mereka hanya membaca judulnya. Untuk mencegah Anda sendiri menjadi penyebar hoaks, hilangkanlah kebiasaan membagikan konten tanpa membaca isinya secara menyeluruh.

Kedua, Orang sering tidak mempertimbangkan legitimasi sumber berita. Situs berita hoaks bisa muncul tiap saat, tetapi kita sebenarnya bisa menghindari jebakannya dengan bersikap lebih hati-hati melihat sebuah situs. Sikap hati-hati ini juga berlaku bagi narasumber yang mereka kutip, minimal dengan mencari referensi lanjutan di Google atau situs lain yang sudah terpercaya.

Ketiga, Orang cenderung mudah kena bias konfirmasi. Orang punya kecenderungan untuk menyukai konten yang memperkuat kepercayaan atau ideologi diri atau kelompoknya. Hal ini membuat kita rentan membagikan konten yang sesuai dengan pandangan kita, sekalipun konten tersebut hoaks. Jika Anda membaca berita yang betul-betul secara sempurna mengukuhkan keyakinan Anda, Anda harus lebih berhati-hati dan tidak buru-buru memencet tombol share.

Keempat, Orang mengukur legitimasi konten dari berita terkait sebuah berita belum tentu bukan hoax hanya karena Anda melihat konten terkait di media sosial. Jangan buru-buru menyimpulkan lalu ikut membagikannya. Kadang-kadang, hoax memang diolah dari berita media terpercaya, hanya saja isinya sudah diplintir.

Kelima, Makin sering orang melihat sebuah konten, makin mudah mereka mempercayainya hanya karena banyak teman-teman Anda share berita tertentu, bukan berarti berita tersebut pasti benar. Alih-alih langsung mempercayai dan membagikannya, Anda bisa mencegah ikut ramai-ramai termakan hoaks dengan melakukan pengecekan lebih lanjut.(*)

  • Bagikan